
Saya melihat acara TVOne pada acara Jakarta Lawyers Club (kalo tidak salah ingat). Pada acara itu dihadirkan banyak sekali pakar, dari Pakar Hukum Tata Negara, Pakar Hukum Politik serta Politikus2 seperti Ruhut Poltak Raja Sitompul si "Pembela SBY".
Dalam acara itu hadir juga Menteri Dalam Negeri serta Pejabat lain. Dal;am acara tersebut banyak juga yang ingin mempertahan kan Jogjakarta seperti apa adanya sekarang.
Diluar dari acara tersebut disini saya tampilkan satu berita tentang Draf RUUK tersebut, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merampungkan draf Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Dalam draf tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono dan Paduka Paku Alam akan ditempatkan sebagai gubernur utama dan wakil gubernur utama. Adapun gubernur di bawahnya akan dipilih langsung. ”Jadi drafnya sudah kita selesaikan, selanjutnya kita sampaikan ke Presiden,” kata Mendagri Gamawan Fauzi seusai rapat pembahasan draf RUUK DIY di kantornya, Jakarta,kemarin. Mantan Gubernur Sumatera Barat itu menjelaskan,draf RUUK DIY juga mengatur bahwa Sri Sultan dan Paduka Paku Alam selaku gubernur utama dan wakil gubernur utama dapat mencalonkan diri dan ikut dalam pilkada sebagai paket pasangan calon.
Mereka pun tidak perlu mendapat dukungan pengajuan calon dari partai politik ataupun syarat dukungan sebanyak 15% sebagaimana calon lain.Jika Sri Sultan dan Paduka Paku Alam maju dalam pilkada, imbuh dia, maka kerabat keraton lainnya tidak dibolehkan ikut mencalonkan, bahkan calon perseorangan lain pun tidak dibolehkan ikut pilkada. ”Kalau Sultan maju, maka hanya figur yang diusung parpol atau gabungan parpol. Kerabat keraton dan calon perseorangan tidak dibolehkan.Tapi jika Sultan tidak maju dalam pilkada, maka pilgub akan dilakukan sesuai ketentuan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan kewenangan gubernur juga sesuai aturan UU tersebut,”imbuhnya.


”Aparat daerah akan bingung, tunduk kepada gubernur utama atau kepala daerah hasil pilkada,” ujarnya saat dihubungi semalam. Sistem alternatif ini menurut mantan rektor UGM itu membuat gubernur hasil pemilihan akan kesulitan mengendalikan jalannya pemerintahan sehingga tujuan pemilihan seperti yang diatur dalam UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak efektif tercapai. ”Ini bukan penghargaan kepada entitas keraton, tapi cara alternatif yang membuat semakin rumit. Kasihan gubernur di bawah gubernur utama itu, sudah dipilih tapi tidak efektif,”ujarnya. Lalu konsep yang ditawarkannya adalah menetapkan siapa pun yang menjadi sultan untuk menjadi kepala daerah DIY.
Namun sultan harus cakap dan memenuhi syarat-syarat kepala daerah yang ditetapkan pemerintah melalui regulasinya. Karena itu nantinya pemilihan sultan dalam lingkup internal keraton akan mengikuti persyaratan kepala daerah. Inilah titik kompromi antara pemerintah dan keraton,yaitu pemerintah bisa menentukan syarat menjadi pimpinan daerah dan keluarga keraton bisa tetap meneruskan tradisinya. ”Jadi kalau anak-anak dan sudah terlalu tua tidak boleh jadi gubernur. Nanti ada aturan pengalihannya,” ujarnya. Pimpinan Gerakan Rakyat Mataram Widihasto Wasana Putra mengatakan tawaran Mendagri adalah konsep yang aneh. Bagaimana mungkin, menurutnya, seorang gubernur utama yang mempunyai kedudukan lebih tinggi ikut dalam pemilihan gubernur yang lebih rendah kedudukannya?
”Saya kembali saja ke titik awal,ketika Yogyakarta sebagai negara merdeka dan bergabung kepada republik. Yogyakarta sepenuhnya berada di tangan sultan dan setara dengan pemerintah. Tidak ada yang lebih tinggi dan rendah dan sultan bertanggung jawab pada presiden,”ujarnya. Dari prinsip tersebut,kesultanan sebenarnya sudah mengadopsi sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu pertanggungjawaban sultan kepada DPRD setempat.Padahal, dulunya, sultan hanya bertanggung jawab kepada presiden. ”Ini jangan diubah-ubah lagi. Pemerintah saat ini tidak punya kearifan politik yang dipunyai Presiden Soekarno dulu,”ujarnya.
Soal Survei


Sementara itu, pakar politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Abdul Gaffar Karim menyatakan, situasi RUUK DIY yang berlarutlarut ini menunjukkan sikap elite politik yang tidak peduli terhadap nasib keistimewaan DIY. Selain itu, kata dia, jika RUUK DIY diangkat, oleh elite politik hanya digunakan untuk menyerang kelompok lain. ”Pernyataan yang dikeluarkan satu pihak akan mendapat penentangan pihak lain. Akibatnya, sampai saat ini tidak pernah muncul skenario yang jelas mengenai keistimewaan DIY,”tuturnya. Dosen Fisipol UGM itu menambahkan, siapa yang menyebutkan kepala daerah DIY ditentukan melalui penetapan dipastikan akan mendapat penentangan pihak lain, begitu pula sebaliknya.
Kondisi ini, kata dia, menunjukkan gejala politik yang tidak sehat karena tidak akan menyelesaikan substansi persoalan. ”Kalau ingin betul-betul menyelesaikan masalah, kedua pihak harus duduk bersama dan berdialog sehingga jalan keluar didapatkan,” tegasnya