Sri Sultan Hamengku Buwono X tidak mengira ribuan masyarakat akan hadir ke Keraton Yogyakarta dan mendukung penetapan dirinya sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Dukungan tersebut disampaikan warga melalui Ketua DPRD DIY dan lima ketua DPRD kabupaten/kota se-DIY.
“Saya baru mendengar kabar soal acara ini, Sabtu (4/9/2011) setelah membaca koran lokal. Saya sempat tanya kepada teman dan adik saya tentang bagaimana acara ini, tapi mereka tak memberi tahu,” kata Sultan, Senin (5/9/2011) di sela acara Syawalan dan Peringatan 66 Tahun Amanat 5 September di Pagelaran Keraton Yogyakarta.
Dalam acara tersebut hadir ribuan warga Yogyakarta yang terdiri dari pegawai negeri sipil, mahasiswa, dan masyarakat. Turut diarak pula 66 gunungan sebagai simbol peringatan 66 tahun Amanat 5 September 1945, yaitu momentum bergabungnya DIY dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejak pukul 10.00 hingga saat ini, ribuan warga Yogyakarta masih antre berdesak-desakan untuk bersilaturahmi dengan Sultan dan Permaisuri GKR Hemas. Karena berdesak-desakan, beberapa warga pingsan.
Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta pendukung rencana penetapan Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY tanpa batas waktu masa jabatan. Hal ini mereka tuangkan dalam Amanat Rakyat DIY yang akan dibacakan dalam Syawalan istimewa sekaligus peringatan 66 tahun Amanat 5 September 1945 di Pagelaran Keraton Yogyakarta, Alun-alun utara, hari ini.
Panitia peringatan 66 tahun Amanat 5 September 1945, Totok Sudarwoto, mengatakan mereka menggagas jabatan gubernur tanpa batas masa jabatan sebagai penghormatan atas Amanat 5 September dari Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII. "Kami tak menyebut angka. Tapi siapa pun yang menjabat Sultan dan Paku Alam," katanya.
Menurut Totok, tugas Sultan dan Paku Alam adalah mewujudkan masyarakat DIY yang tenteram, maju, dan sejahtera, yang setara dengan harkat-martabat bangsa-bangsa lain. "Keduanya bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden dan rakyat DIY," katanya lagi.
Sementara itu, adik kandung Paku Alam IX, Kanjeng Pangeran Haryo Indrokusumo, mengatakan siapa pun yang nanti menggantikan Paku Alam IX harus sesuai dengan paugeran dan mampu menjalankan tugas serta fungsi wakil gubernur. Paugeran yang dimaksud adalah aturan yang berlaku di Kadipaten Pakualaman untuk ditetapkan sebagai Adipati Paku Alam X.
Dimintai komentar mengenai sikap diam PA IX atas isu-isu keistimewaan DIY selama ini, Indrokusumo menegaskan bahwa itu merupakan wujud satu-kesatuan antara keraton dan kadipaten. "Apa yang harus dikomentari? Karena koordinasi keduanya sudah ada sebelumnya," ujarnya.
Secara terpisah, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. mengatakan jika nanti ada konflik menyangkut Undang-Undang Keistimewaan, bisa saja itu dibawa ke Mahkamah. Mahfud mengatakan hal ini dalam acara Syawalan bersama di rumahnya di Dusun Sambilegi Lor, Desa Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Sleman.
Tapi saat ini, menurut Mahfud, karena belum disahkan, konflik menyangkut Rancangan Undang-Undang Keistimewaan masih menjadi wewenang pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. "Itu terserah pemerintah dan DPR," katanya.
Purwo Santoso, anggota Tim Penyusun Draf RUU Keistimewaan dari Universitas Gadjah Mada yang ditemui di rumah Mahfud, mengkritik diskusi tentang keistimewaan DIY yang hanya mengerucut pada urusan penetapan Sultan dan Paku Alam. "Itu cara berpikir yang tidak demokratis, karena tidak mengartikan keistimewaan secara tepat guna dan sesuai dengan perkembangan zaman," ucapnya.
Menurut Purwo, sebenarnya banyak hal lain yang lebih penting, yakni soal institusi keraton itu sendiri, Sultan/Paku Alam ground, serta peran dan tata cara keraton. "Selama ini masyarakat hanya diajak menuntut pengukuhan kekuasaan Sultan," katanya.
Tim Penyusun Draf RUU Keistimewaan dari UGM, lanjut Purwo, tetap berpegang teguh pada prinsip demokrasi. Penjabarannya, menurut dia, Gubernur dan Wakil Gubernur DIY harus dipilih secara demokratis.
dari beberapa sumber dengan bantuan mabh Google dan dikatakan ada 59 berita sejenis...
Memang Jogja tetap Istimewa apapun yang terjadi