Senin, 09 Mei 2011

Perjuangan (di) Yogyakarta

Kembali pada masalah Keistimewaan Yogyakarta, agaknya pemimpin dan pembantunya yang sedang berkuasa di negara ini lupa bahwa dahulu sebelum mereka tahu tentang Indonesia (karena masih kecil atau mungkin belum dilahirkan) dua presiden kita yaitu Soekarno sang proklamator dan Presiden Pertama serta Soeharto Presiden kedua sekaligus Bapak Pembangunan itu berjuang untuk Indonesia di Jogjakarta.

Belum genap setahun Republik ini diproklamasikan, tentara sekutu menyerbu dan menduduki Jawa. Akibatnya, pada akhir 1945, situasi Jakarta sebagai ibu kota negara menjadi genting. Pasukan sekutu masuk ke Indonesia. Mereka ditugasi untuk melucuti persenjataan tentara Jepang di pasifik dan menjaga stabilitas keamanan di Indonesia.

Namun, apa lacur, proklamasi 17 Agustus 1945 yang mendeklarasikan Indonesia sebagai bangsa merdeka dan berdaulat, telah menunjukkan kenyataan lain pada sekutu. Kedatangan sekutu disambut perlawanan oleh laskar rakyat dan eks tentara PETA yang berusaha dengan gigih untuk tetap dapat mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Situasi ini memaksa Presiden Soekarno bersedia memenuhi tawaran Sultan Hamengku Biwono IX. Ia kemudian memindahkan ibu kota Negara RI dari Jakarta ke Yogyakarta pada 13 Januari 1946. Dipilihnya kota Yogyakarta bukannya tanpa alasan. Pertama, alasan geografis dimana Yogyakarta tepat berada di jantung pulau Jawa. Kedua, alasan kedekatan sejarah antara Kasultanan Yogyakarta dan Kerajaan Belanda.
Dengan demikian, Yogyakarta menjadi pusat kegiatan Republik  yang tidak terganggu. Pasukan sekutu  tidak bisa dengan cepat menduduki kota Yogyakarta karena masih disibukkan dengan tugas utamanya di Jakarta.
Berbenah di Yogyakarta
Jeda waktu ini bisa dimanfaatkan oleh Tentara Republik untuk membangun markas besar dan mengkonsolidasikan pasukan. Demikian juga dengan berbagai organisasi semi-militer dan politik yang tidak terhitung banyaknya. Mereka beramai-ramai ikut pindah ke Yogyakarta.
Pada 19 Desember 1948, lagi-lagi Belanda melancarkan Agresi Militer dengan menduduki lapangan udara Maguwo. Tentara Belanda lantas merangsek masuk ke kota dan berhasil menawan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, dan pemimpin lain di Istana Gedung Agung Yogyakarta.
Selanjutnya, para pimpinan nasional yang tertawan tersebut diasingkan ke Prapat, kemudian ke Bukit Menumbing, Bangka. Demi melihat itu, Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII meletakkan jabatan Kepala Daerah yang mereka sandang, sebagai wujud protes kepada Belanda.
Serangan Balik

Sultan Hamengku Buwono IX dan Letkol. Soeharto kemudian berinisiatif untuk menyusun rencana serangan kepada militer Belanda. Serangan ini penting dan berguna untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih eksis.

Atas kerja sama Tentara Republik dan laskar rakyat, rencana tersebut akhirnya berhasil dilaksanakan pada 1 Maret 1949, dan dikenal dengan peristiwa Serangan Oemoem 1 Maret atau peristiwa 6 jam di Jogja.
Serangan ini berhasil membuka mata dunia bahwa Republik Indonesia masih ada. Akhirnya, dunia internasional bereaksi dan mengeluarkan kutukan terhadap Agresi Militer Belanda di Yogyakarta ini.
Situasi ini memaksa Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk semakin kuat menekan Belanda. Akhirnya, Presiden Soekarno dan pimpinan Nasional lainnya dibebaskan, dan pada 6 Juli 1949, Presiden Soekarno sudah tiba kembali di Yogyakarta

Sumber : SBY Lupa, Soekarno dan Soeharto Berjuang Pertahankan Yogya majalahpotretindonesia.com