Sampai Jogja, kalau belum mampir ke Malioboro masih dianggap belum sampai Jogja demikian anggapan banyak orang. Ya, jalan yang berada persis di garis imajiner yang menghubungkan Kraton Yogyakarta, Tugu, Monumen Jogja Kembali dan puncak Gunung Merapi memang menjadi kawasan legendaris dan menyimpan sejuta kenangan.
Jalan Malioboro telah membentuk sebuah kawasan tempat berkumpulnya berbagai komunitas. Dari sekian banyak komunitas yang ada, hanya komunitas pedagang yang terus eksis hingga kini. Komunitas-komunitas yang lain, yang dulu memanfaatkan kawasan ini, seperti komunitas budayawan dan seniman akhirnya hanya kebagian ruang sempit, tergusur aktivitas perdagangan yang semakin lama semakin menguasai ruang di Malioboro.
Jalan tersebut dibangun sejak Raja Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono I, dilengkapi sarana perdagangan berupa pasar tradisional semenjak tahun 1758. Pasar yang dulunya berupa kawasan yang banyak tumbuh pohon beringin akhirnya diberi nama Pasar Beringharjo. Kawasan perdagangan tersebut terus berkembang dan setelah berlalu 248 tahun, akitvitas perdagangan meluas hingga menguasai seluruh kawasan Malioboro.
Malioboro tidak ada hubungannya sama sekali dengan mallbor. Malioboro diambil dari bahasa sansekerta yang berarti karangan bunga. Dulu, jalan yang perisis membujur ke arah pintu gerbang Keraton Ngayogyakarta selalu dipenuhi karangan bunga jika Keraton menggelar perhelatan. Karena itu jalan tersebut diberi nama Malioboro (karangan bunga).
Malioboro menjadi saksi bisu beragam peristiwa penting yang akhirnya banyak mewarnai perjalanan panjang bangsa Indonesia. Hengkangnya tentara kerjaan Belanda dari Bumi Pertiwi secara simbolik dilakukan di Jalan Malioboro dan ada prasastinya yang dapat dilihat sampai sekarang. Di kanan kiri Jalan Malioboro terdapat banyak bangunan bersejarah, diantaranya Benteng Vredeburg dan Gedung Agung. Pernah menjadi tempat bersarang komunitas seniman dan budayawan besar.
Malioboro memang eksotik. Keeksotikan tersebut tetap berpendar hingga saat ini. Ikon Kota Yogyakarta menyediakan aneka macam cinderamata khas Jogja. Perburuan cinderamata sambil berjalan kaki di bahu jalan tempat mangkalnya ratusan pedagang kaki lima menghadirkan suasana nan romantis. Semua ada disini, mulai dari produk kerajinan lokal seperti batik, hiasan rotan, wayang kulit, kerajinan bambu (gantungan kunci, lampu hias dan lain sebagainya) juga blangkon (topi khas Jawa/Jogja) serta barang-barang perak, hingga pedagang yang menjual pernak pernik umum yang banyak ditemui di tempat perdagangan lain.
Bila sudah cukup puas menyusuri Malioboro, lesehan Malioboro yang mulai buka menjelang petang dapat dimanfaatkan melepas lelah sambil menikmati makanan khas Jogja Gudeg. Bagi yang ingin memanjakan mulut dengan menu lain, juga ada burung dara goreng/bakar, pecel lele, sea food, masakan Padang dan aneka makan khas lainnya. Sambil menikmati makanan, pengamen jalanan akan menghibur dengan lagu-lagu hits atau tembang kenangan.
Itulah suasana yang ngangeni, suasana Malioboro. Maka “Kembali Ke Kotamu” menggambarkan kerinduan akan Jogja dengan Malioboronya.?Tak lupa saya tulis disini lagu berjudul "Yogyakarta" yang pernah dinyanyikan oleh KLa Project beberapa tahun yang lalu untuk mengobati rasa kangen saya terhadap Yogyakarta dan mungkin anda juga...
Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja
Di persimpangan, langkahku terhenti
Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, di tengah deru kotamu
(Walau kini kau t’lah tiada tak kembali) Oh…
(Namun kotamu hadirkan senyummu abadi)
(Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi)
(Bila hati mulai sepi tanpa terobati) Oh… Tak terobati
Musisi jalanan mulai beraksi, oh…
Merintih sendiri, di tengah deru, hey…
Walau kini kau t’lah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi
(untuk s’lalu pulang lagi)
Bila hati mulai sepi tanpa terobati, oh…
(Walau kini kau t’lah tiada tak kembali)
Tak kembali…
(Namun kotamu hadirkan senyummu abadi)
Namun kotamu hadirkan senyummu yang, yang abadi
(Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi)
Izinkanlah untuk s’lalu, selalu pulang lagi
(Bila hati mulai sepi tanpa terobati)
Bila hati mulai sepi tanpa terobati
Walau kini engkau telah tiada (tak kembali) tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu (abadi)
Senyummu abadi, abadi…