Sejarah Aksara Jawa Legenda Hanacaraka Aksara Jawa Hanacaraka itu berasal dari aksara Brahmi yang asalnya dari Hindhustan. Di negeri Hindhustan tersebut terdapat bermacam-macam aksara, salah satunya yaitu aksara Pallawa yang berasal dari Indhia bagian selatan. Dinamakan aksara Pallawa karena berasal dari salah satu kerajaan yang ada di sana yaitu Kerajaan Pallawa. Aksara Pallawa itu digunakan sekitar pada abad ke-4 Masehi.
Di Nusantara terdapat bukti sejarah berupa prasasti Yupa di Kutai, Kalimantan Timur, ditulis dengan menggunakan aksara Pallawa. Aksara Pallawa ini menjadi ibu dari semua aksara yang ada di Nusantara, antara lain: aksara hanacaraka , aksara Rencong (aksara Kaganga), Surat Batak, Aksara Makassar dan Aksara Baybayin (aksara di Filipina). Profesor J.G. de Casparis dari Belanda, yaitu pakar paleografi atau ahli ilmu sejarah aksara, mengutarakan bahwa aksara hanacaraka itu dibagi menjadi lima masa utama, yaitu:
a. Aksara Pallawa Aksara Pallawa itu berasal dari India Selatan. Jenis aksara ini mulai digunakan sekitar abad ke 4 dan abad ke 5 masehi. Salah satu bukti penggunaan jenis aksara ini di Nusantara adalah ditemukannya prasasti Yupa di Kutai, Kalimantan Timur. Aksara ini juga digunakan di Pulau Jawa, yaitu di Tatar Sundha di Prasasti tarumanegara yang ditulis sekitar pada tahun 450 M. di tanah Jawa sendiri, aksara ini digunakan pada Prasasti Tuk Mas dan Prasasti Canggal. Aksara Pallawa ini menjadi ibu dari semua aksara yang ada di Nusantara, termasuk aksara hanacaraka. Kalau diperhatikan, aksara Pallawa ini bentuknya segi empat. Dalam bahasa Inggris, perkara ini disebut sebagai huruf box head atau square head-mark. Walaupun aksara Pallawa ini sudah digunakan sejak abad ke-4, namun bahasa Nusantara asli belum ada yang ditulis dalam aksara ini.
Gambar 2.1 Prasasti Yupa b. Aksara Kawi Wiwitan Perbedaan antara aksara Kawi Wiwitan dengan aksara Pallawa itu terutama terdapat pada gayanya. Aksara Pallawa itu dikenal sebagai salah satu aksara monumental, yaitu aksara yang digunakan untuk menulis pada batu prasasti.
b. Aksara Kawi Wiwitan utamanya digunakan untuk nulis pada rontal, oleh karena itu bentuknya menjadi lebih kursif. Aksara ini digunakan antara tahun 750 M sampai 925 M. Prasasti-prasasti yang ditulis dengan menggunakan aksara ini jumlahnya sangatlah banyak, kurang lebih 1/3 dari semua prasasti yang ditemukan di Pulau jawa. Misalnya pada Prasasti Plumpang (di daerah Salatiga) yang kurang lebih ditulis pada tahun 750 M. Prasasti ini masih ditulis dengan bahasa Sansekerta.
c. Aksara Kawi Pungkasan Kira-kira setelah tahun 925, pusat kekuasaan di pulau Jawa berada di daerah jawa timur. Pengalihan kekuasaan ini juga berpengaruh pada jenis aksara yang digunakan. Masa penggunaan aksara Kawi Pungkasan ini kira-kira mulai tahun 925 M sampai 1250 M. Sebenarnya aksara Kawi Pungkasan ini tidak terlalu banyak perbedaannya dengan aksara Kawi Wiwitan, namun gayanya saja yang menjadi agak beda. Di sisi lain, gaya aksara yang digunakan di Jawa Timur sebelum tahun 925 M juga sudah berbeda dengan gaya aksara yang digunakan di Jawa tengah. Jadi perbedaan ini tidak hanya perbedaan dalam waktu saja, namun juga pada perbedaan tempatnya. Pada masa itu bisa dibedakan empat gaya aksara yang berbeda-beda, yaitu;
1) Aksara Kawi Jawa Wetanan pada tahun 910-950 M;
2) Aksara Kawi Jawa Wetanan pada jaman Prabu Airlangga pada tahun 1019-1042 M;
3) Aksara Kawi Jawa Wetanan Kedhiri kurang lebih pada tahun 1100-1200 M;
4) Aksara Tegak (quadrate script) masih berada di masa kerajaan Kedhiri pada tahun 1050-1220 M
d. Aksara Majapahit Dalam sejarah Nusantara pada masa antara tahun 1250-1450 M, ditandai dengan dominasi Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Aksara Majapahit ini juga menunjukkan adanya pengaruh dari gaya penulisan di rontal dan bentuknya sudah lebih indah dengan gaya semi kaligrafis. Contoh utama gaya penulisan ini adalah terdapat pada Prasasti Singhasari yang diperkirakan pada tahun 1351 M. gaya penulisan aksara gaya Majapahit ini sudah mendekati gaya modern. Gambar 2.2 Prasasti Singhasari
e. Aksara Pasca Majapahit Setelah naman Majapahit yang menurut sejarah kira-kira mulai tahun 1479 sampai akhir abad 16 atau awal abad 17 M, merupakan masa kelam sejarah aksara Jawa. Karena setelah itu sampai awal abad ke-17 M, hampir tidak ditemukan bukti penulisan penggunaan aksara jawa, tiba-tiba bentuk aksara Jawa menjadi bentuk yang modern. Walaupun demikian, juga ditemukan prasasti yang dianggap menjadi “missing link” antara aksara Hanacaraka dari jaman Jawa kuna dan aksara Budha yang sampai sekarang masih digunakan di tanah Jawa, terutama di sekitar Gunung Merapi dan Gunung Merbabu sampai abad ke-18. Prasasti ini dinamakan dengan Prasasti Ngadoman yang ditemukan di daerah Salatiga. Namun, contoh aksara Budha yang paling tua digunakan berasal dari Jawa barat dan ditemukan dalam naskah-naskah yang menceritakan Kakawin Arjunawiwaha dan Kunjarakarna. Gambar 2.3 Prasasti Ngadoman
f. Munculnya Aksara Hanacaraka Baru Setelah jaman Majapahit, muncul jaman Islam dan juga Jaman Kolonialisme Barat di tanah Jawa. Dijaman ini muncul naskah-naskah manuskrip yang pertama yang sudah menggunakan aksara Hanacaraka baru. Naskah-naskah ini tidak hanya ditulis di daun palem (rontal atau nipah) lagi, namun juga di kerta dan berwujud buku atau codex (“kondheks”). Naskah-naskah ini ditemukan di daerah pesisir utara Jawa dan dibawa ke Eropa pada abad ke 16 atau 17. Gambar 2.4 Naskah Aksara Jawa Bentuk dari aksara Hanacaraka baru ini sudah berbeda dengan aksara sebelumnya seperti aksara Majapahit. Perbedaan utama itu dinamakan serif tambahan di aksara Hanacaraka batu. Aksara-aksara Hanacaraka awal ini bentuknya mirip semua mulai dari Banten sebelah barat sampai Bali. Namun, akhirnya beberapa daerah tidak menggunakan aksara hanacaraka dan pindhah menggunakan pegon dan aksara hanacaraka gaya Durakarta yang menjadi baku. Namun dari semua aksara itu, aksara Bali yang bentuknya tetap sama sampai abad ke-20. Aksara Pallawa ini digunakan di Nusantara dari abad ke-4 sampai kurang lebih abad ke-8. Lalu aksara Kawi Wiwitan digunakan dari abad ke-8 samapai abad ke-10, terutama di Jawa Tengah