Kamis, 14 April 2011

H. Rosihan Anwar - wartawan lima zaman

H. Rosihan Anwar (lahir di Kubang Nan Dua, Solok, Sumatera Barat, 10 Mei 1922; umur 88 tahun) adalah tokoh pers Indonesia, meski dirinya lebih tepat dikatakan sebagai sejarawan, sastrawan, bahkan budayawan. Rosihan yang memulai karier jurnalistiknya sejak berumur 20-an, tercatat telah menulis 21 judul buku dan mungkin ratusan artikel di hampir semua koran dan majalah utama di Indonesia dan di beberapa penerbitan asing.

Anak keempat dari sepuluh bersaudara putra Anwar Maharaja Sutan, seorang demang di Padang, Sumatera Barat ini menyelesaikan sekolah rakyat (HIS) dan SMP (MULO) di Padang. Ia pun melanjutkan pendidikannya ke AMS di Yogyakarta. Dari sana Rosihan mengikuti berbagai workshop di dalam dan di luar negeri, termasuk di Yale University dan School of Journalism di Columbia University, New York, Amerika Serikat.

Rosihan telah hidup dalam 'multi-zaman'. Di masa perjuangan, dirinya pernah disekap oleh penjajah Belanda di Bukitduri, Jakarta Selatan. Kemudian di masa Presiden Soekarno koran miliknya, Pedoman pada 1961 ditutup oleh rezim saat itu. Namun di masa peralihan pemerintah Orde Baru, Rosihan mendapat anugerah sebagai wartawan sejak sebelum Revolusi Indonesia dengan mendapatkan anugerah Bintang Mahaputra III, bersama tokoh pers Jakob Oetama. Sayangnya rezim Orde Baru ini pun menutup Pedoman pada tahun 1974-kurang dari setahun setelah Presiden Soeharto mengalungkan bintang itu di leher para penerimanya.

Rosihan memulai karier jurnalistiknya sebagai reporter Asia Raya di masa pendudukan Jepang tahun 1943 hingga menjadi pemimpin redaksi Siasat (1947-1957) dan Pedoman (1948-1961). Selama enam tahun, sejak 1968, ia menjabat Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Bersama Usmar Ismail, pada 1950 ia mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini). Dalam film pertamanya, Darah dan Doa, ia sekaligus menjadi figuran. Dilanjutkan sebagai produser film Terimalah Laguku. Sejak akhir 1981, aktivitasnya di film adalah mempromosikan film Indonesia di luar negeri dan tetap menjadi kritikus film sampai sekarang.
Pada tahun 2007, Rosihan Anwar dan Herawati Diah, yang ikut mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Surakarta pada 1946 mendapat penghargaan 'Life Time Achievement' atau 'Prestasi Sepanjang Hayat' dari PWI Pusat.

Rosihan menikah dengan Siti Zuraida Binti Moh. Sanawi pada tahun 1947 dan dikaruniai tiga anak.
HIS, Padang (1935)
  • MULO, Padang (1939)
  • AMS-A II, Yogyakarta (1942)
  • Drama Workshop, Universitas Yale, AS (1950)
  • School of Journalism, Columbia University New York, AS (1954)

  • Reporter Asia Raya, (1943-1945)
  • Redaktur harian Merdeka, (1945-1946)
  • Pendiri/Pemred majalah Siasat (1947-1957)
  • Pendiri/Pemred harian Pedoman, (1948-1961)
  • Pendiri Perfini (1950)
  • Kolumnis Business News, (1963 -- sekarang)
  • Kolumnis Kompas, KAMI, AB (1966-1968)
  • Koresponden harian The Age, Melbourne, harian Hindustan Times New Delhi, Kantor Berita World Forum Features, London, mingguan Asian, Hong Kong (1967-1971)
  • Pemred harian Pedoman, (1968-1974)
  • Koresponden The Straits, Singapura dan New Straits Times, Kuala Lumpur (1976-1985)
  • Wartawan Freelance (1974 -- sekarang)
  • Kolumnis Asiaweek, Hong Kong (1976 -- sekarang)
  • Ketua Umum PWI Pusat (1970-1973)
  • Ketua Pembina PWI Pusat (1973-1978)
  • Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat (1983 -- sekarang)

  • Wakil Ketua Dewan Film Nasional (1978 -- sekarang)
  • Anggota Dewan Pimpinan Harian YTKI (1976 -- sekarang)
  • Committee Member AMIC, Singapore (1973 -- sekarang)
  • Dosen tidak tetap Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1983 -- sekarang)

  • Ke Barat dari Rumah, 1952
  • India dari Dekat, 1954
  • Dapat Panggilan Nabi Ibrahim, 1959
  • Islam dan Anda, 1962
  • Raja Kecil (novel), 1967
  • Ihwal Jurnalistik, 1974
  • Kisah-kisah zaman Revolusi, 1975
  • Profil Wartawan Indonesia, 1977
  • Kisah-kisah Jakarta setelah Proklamasi, 1977
  • Jakarta menjelang Clash ke-I, 1978
  • Menulis Dalam Air, autobiografi, SH, 1983
  • Musim Berganti, Grafitipers, 1985

  • Bintang Mahaputra III (1974)
  • Anugerah Kesetiaan Berkarya sebagai Wartawan (2005)
  • Life Time Achievement (2007)
Kesastrawanannya dimulai dengan memublikasikan puisi-puisinya di berbagai media massa pada waktu itu, antara lain, di surat kabar Asia Raya, Merdeka, dan majalah mingguan politik dan budaya Siasat.Di antaranya, puisi yang ditulis oleh pahlawan kemerdekaan Filipina, Yose Rizal, yang berjudul “Mi Ultimo Adios” (salamku yang terakhir), diterjemahkan Rosihan menjadi “Selamat Tinggal”.

Oleh karena itu, pada tahun 1961, dalam rangka memperingati hari ulang tahun pahlawan itu, pemerintah Filipina mengundang Rosihan Anwar ke negaranya. “Selamat Tinggal” (“Mi Ultimo Adios” dalam bahasa Indonesia) pun berkumandang, dideklamasikan oleh Rosihan, pada acara itu. Pada suatu hari di tahun 1957 (saat Rosihan masih menjabat sebagai pemimpin redaksi Pedoman), dalam sebuah resepsi, Rosihan berseloroh kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Kafrawi, “Kafrawi, you kapan memberi saya kesempatan naik haji?” Sebenarnya, ia hanya bercanda. Perkenalan anatara Rosihan dan Ida terjadi ketika mereka sama-sama bekerja di surat kabar Asia Raya, Rosihan adalah reporter dan Ida adalah sekretaris pemimpin redaksi.

Rosihan Anwar selama ini dikenal sebagai wartawan lima zaman. Ia telah menjadi penulis sejak zaman penjajahan Belanda sampai sekarang. Di usia senja, ia masih aktif mengirimkan tulisan ke media massa dan menulis buku. Buku terakhir yang ditulisnya adalah Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia Jilid IV (Penerbit Buku Kompas, November 2010). Ia kini juga sedang menyiapkan memoar kehidupan cintanya dengan sang istri dengan judul yang sudah disiapkan Belahan Jiwa, Memoar Rosihan Anwar dengan Siti Zuraida.


Kabar duka datang, Kamis 14 April 2011 pagi. Penulis dan wartawan senior H Rosihan Anwar dalam usia 89  tahun meninggal dunia setelah sempat dirawat lebih dari sebulan di Rumah Sakit MMC Kuningan, Jakarta Selatan.