Kamis, 25 November 2010

Benteng Vredeburg Jogja

Benteng Vredeburg adalah sebuah benteng yang dibangun tahun 1765 oleh VOC di Yogyakarta selama masa kolonial VOC. Gedung bersejarah ini terletak di depan Gedung Agung (satu dari tujuh istana kepresidenan di Indonesia) dan Istana Sultan Yogyakarta Hadiningrat yang dinamakan Kraton. Benteng ini dibangun oleh VOC sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan gubernur Belanda kala itu. Benteng ini dikelilingi oleh sebuah parit yang masih bisa terlihat sampai sekarang.

Benteng berbentuk persegi ini mempunyai menara pantau di keempat sudutnya. Di masa lalu, tentara VOC dan juga Belanda sering berpatroli mengelilingi dindingnya.

Sekarang, benteng ini menjadi sebuah museum. Di sejumlah bangunan di dalam benteng ini terdapat diorama mengenai sejarah Indonesia.

Mengunjungi objek wisata di Yogyakarta, tidak lengkap rasanya tanpa menyempatkan datang ke Museum Benteng Vredeburg. Lokasinya sangat mudah untuk ditemukan, yakni terletak di ujung selatan Jalan Malioboro. Benteng ini memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi bagi perjuangan melawan penjajah. Sebelum dikenal dengan nama Benteng Vredeburg seperti sekarang, benteng ini bernama Benteng Rustenburg.

LATAR BELAKANG BERDIRINYA BENTENG VREDEBURG

Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang mempunyai peranan penting dalam perjalanan sejarah dalam merintis, mencapai, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Indonesia. Peristiwa-peristiwa penting sebagai tonggak-tonggak sejarah terjadi di kota ini.

Sejak awal berdirinya kota Yogyakarta telah tampil ke pentas sejarah semangat juang para pemimpin-pemimpinya. Dimulai dari Sultan Agung Hanyokrokusumo yang menyerang Batavia tahun 1628 dan 1629, dilanjutkan oleh Pangeran Mangkubumi yang bertempur melawan VOC yang kemudian diakhiri dengan Perjanjian Giyanti tahun 1755 yang juga perlawanan pangeran Diponegoro dan peristiwa-peristiwa lainnya. Semua itu talah menjadi goresan tinta emas dalam lembaran sejarah perjuangan Bangsa Indonesia.

Perjanjian yang berhasil dikeluarkan karena campur tangan VOC selalu mempunyai tujuan akhir memecah belah dan mengadu domba pihak-pihak yang bersangkutan. Demikian pula dengan perjanjian Giyanti. Orang Belanda yang berperan penting dalam lahirnya Perjanjian Giyanti tersebut adalah Nicolas Hartingh, yang menjabat Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa (Gouverneur en Directeur van Java noordkust) sejak bulan Maret 1754.

Pada hakekatnya perjanjian tersebut adalah perwujudan dari usaha untuk membelah Kerajaan Mataram menjadi dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Untuk selanjutnya Kasultanan Yogyakarta diperintah oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alogo Adul Rachman Sayidin Panata Gama Khalifatulah I. sedang Kasunanan Surakarta diperintahkan oleh Paku Buwono III.

Langkah pertama yang diambil oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah segera memerintahkan membangun kraton. Dengan titahnya Sultan segera memerintahkan membuka Hutan Beringan di mana di tempat tersebut sudah terdapat dusun Pacetokan. Sri Sultan Hamengku Buwono I mengumumkan bahwa wilayah yang menjadi daerah kekuasaannya tersebut diberi nama Ngayogyakarta Adiningrat (Ngayogyakarta Hadiningrat) dengan ibukota Ngayogyakarta. Pemilihan nama ini dimaksudkan untuk menghormati tempat bersejarah yaitu Hutan Beringan yang pada jaman almarhum Sri Susuhunan Amangkurat Jawi (Amangkurat IV) merupakan kota kecil yang indah. Di dalamnya terdapat istana pesanggrahan yang terkenal dengan Garjitowati. Kemudian pada jaman Sri Susuhunan Paku Buwono II bertahta di Kartasura nama pesanggrahan itu diganti dengan Ngayogya. Pada masa itu dipergunakan sebagai tempat pemberhentian jenazah para bangsawan yang akan dimakamkan di Imogiri.

Hutan kecil ini mula-mula adalah tempat peristirahatan Sunan Pakubuwono II dengan nama Pesanggrahan Garjitowati. Untuk selanjutnya beliau menggantikan dengan nama Ayogya (atau Ngayogya). Nama Ngayogyakarta ditafsirkan dari kata”Ayuda” dan kata “Karta”. Kata “a” berarti tidak dan “yuda” berarti perang. Jadi “Ayuda” mengandung pengertian tidak ada perang atau damai. Sedangkan “Karta” berarti aman dan tenteram. Jadi Ngayogyakarta dapat diartikan sebagai “Kota yang aman dan tenteram”.

Disamping sebagai seorang panglima perang yang tangguh, Sri Sultan Hamengku Buwono I, adalah juga seorang ahli bangunan yang hebat. Kraton Kasultanan Yogyakarta permata dibangun pada tanggal 9 Oktober 1755. Selama pembangunan keraton berlangsung, Sultan dan keluarga tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang Gamping, kurang lebih selama satu tahun. Pada hari Kamis Pahing, tanggal 7 Oktober 1756 selama satu tahu. Meski belum selesai dengan sempurna, Sultan dan keluarga berkenan menempatinya. Peresmian di asaat raja dan keluarganya menempati kraton ditandai dengan candra sangkala “Dwi Naga Rasa Tunggal” Dalam tahun Jawa sama dengan 1682, tanggal 13 Jimakir yang bertepatan dengan tanggal 7 Oktober 1756.

Setelah kraton mulai ditempati kemudian berdiri pula bangunan-bangunan lainnya. Kraton dikelilingi tembok yang tebal. Di dalamnya terdapat beberapa bangunan dengan aneka rupa dan fungsi. Bangunan kediaman sultan dan kerabat dekatnya dinamakan Prabayeksa, selesai dibangun tahun 1546. Bangunan Sitihinggil dan Pagelaran selesai dibangun tahun 1757. Gapura penghubung Dana Pertapa dan Kemagangan selesai tahun 1751 dan 1763. Masjid Agung didirikan tahun 1771. Benteng besar yang mengelilingi kraton selesai tahun 1777. Bangsal Kencana selesai tahun 1792. Demikian kraton Yogyakarta berdiri dengan perkembangan yang senantiasa terjadi dari waktu ke waktu.

Melihat kemajuan yang sangat pesat akan kraton yang didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I, rasa kekhawatiran pihak Belanda mulai muncul. Sehingga pihak Belanda mengusulkan kepada Sultan agar diijinkan membangun sebuah benteng di dekat kraton. Pembangunan tersebut dengan dalih agar Belanda dapat menjaga keamanan kraton dan sekitarnya. Akan tetapi dibalik dalih tersebut maksud Belanda yang sesungguhnya adalah untuk memudahkan dalam mengontrol segala perkembangan yang terjadi dalam kraton. Letak benteng yang hanya satu jarak tembak meriam dari kraton dan lokasinya yang menghadap ke jalan utama menuju kraton menjadi indikasi bahwa fungsi benteng dapat dimanfaatkan sebagai benteng strategi, intimidasi, penyerangan dan blokade. Dapat dikatakan bahwa berdirinya benteng tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu Sultan memalingkan muka memusuhi Belanda. Besarnya kekuatan yang tersembunyi dibalik kontrak politik yang dilahirkan dalam setiap perjanjian dengan pihak Belanda seakan-akan menjadi “kekuatan” yang sulit dilawan oleh setiap pemimpin pribumi pada masa kolonial Belanda. Dalam hal ini termasuk pula Sri Sultan Hamengku Buwono I. Oleh karena itu permohonan ijin Belanda untuk membangun benteng dikabulkan.

Sebelum dibangun benteng pada lokasinya yang sekarang (Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta), pada tahun 1760 atas permintaan Belanda, Sultan HB I telah membangun sebuah benteng yang sangat sederhana berbentuk bujur sangkar. Di keempat sudutnya dibuat tempat penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Oleh Sultan keempat sudut tersebut diberi nama Jaya (sudut barat laut), Jayapurusa (sudut timur laut), Jayaprakosaningprang (sudut barat daya) dan Jayaprayitna (sudut tenggara)

Pada awal berdirinya bahwa benteng tesebut keadaannya masih sangat sederhana. Tembok dari tanah yang diperkuatdengan tiang-tiang penyangga dari kayu pohon kelapa dan aren. Bangunan di dalamnya terdiri atas bamboo dan kayu dengan atap ilalang.

Dalam perkembangan selanjutnya sewaktu W.H Ossenbrech menggantikan kedudukan Nicolas Hartingh, tahun 1765 mengusulkan kepada Sultan agar benteng diperkuat menjadi bangunan yang lebih permanent agar lebih menjamin keamanan. Usul tersebut dikabulkan, selanjutnya pembangunan benteng dikerjakan dibawah pengawasan seorang Belanda ahli ilmu bangunan yang bernama Ir. Frans Haak. Tahun 1767 pembangunan benteng dimulai. Menurut rencana pembangunan tersebut akan diselesaikan tahun itu juga. Akan tetapi dalam kenyataannya proses pembangunan tersebut berjalan sangat lambat dan baru selesai tahun 1787. Hal ini terjadi karena pada masa tersebut Sultan yang bersedia mengadakan bahan dan tenaga dalam pembangunan bentengm sedang disibukkan dengan pembangunan Kraton Yogyakarta, sehingga bahan dan tenaga yang dijanjikan lebih banyak teralokasi untuk pembangunan kraton. Setelah selesai bangunan benteng yang telah disempurnakan tersebut diberi nama Rustenburg yang berarti “Benteng Peristirahatan”.

Pada tahun 1867 di Yogyakarta terjadi gempa bumi yang dahsyat sehingga banyak merobohkan beberapa bangunan besar seperti Gedung Residen (yang dibangun tahun 1824), Tugu Pal Putih, dan Benteng Rustenburg serta bangunan-bangunan yang lain. Bangunan-bangunan tersebut segera dibangun kembali. Benteng Rustenburg segera diadakan pembenahan di beberapa bagian bangunan yang rusak. Setelah selesai bangunan benteng yang semula bernama Rustenburg diganti menjadi Vredeburg yang berarti “Benteng Perdamaian:. Nama ini diambil sebagai manifestasi hubungan antara Kasultanan Yogyakarta dengan pihak Belanda yang tidak saling menyerang waktu itu.

Bentuk benteng tetap seperti awal mula dibangun, yaitu bujur sangkar. Pada keempat sudutnya dibangun ruang penjagan yang disebut “seleka” atau “bastion”. Pintu gerbang benteng menghadap ke barat dengan dikelilingi oleh parit. Di dalamnya terdapat bangunan-bangunan rumah perwira, asrama prajurit, gudang logistic, gudang mesiu, rumah sakit prajurit dan rummah residen. Di Benteng Vredeburg ditempati sekitar 500 orang prajurit, termasuk petugas medis dan para medis. Disamping itu pada masa pemerintahan Hindia Belanda digunakan sebagai tempat perlindungan para residen yang sedang bertugas di Yogyakarta. Hal itu sangat dimungkinkan karena kantor residen yang berada berseberangan dengan letak Benteng Vredeburg.

BENTENG VREDEBURG PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG

Jatuhnya Singapura ke tangan Jepang, membuat kedudukan pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda terancam. Ketika akan menyerang Indonesia, Jepang lebih dulu menguasai daerah-daerah penghasil minyak bumi di Kalimantan Timur seperti Tarakan, Pulau Bunyu dan Balikpapan. Penguasaan daerah tersebut sangat penting untuk mendukung kepentingan perang pasukan Jepang di kawasan Pasifik. Setelah Kalimantan, Jepang kemudian menyerang Sumatra yaitu Dumai, Pekanbaru dan Palembang. Terakhir baru Jepang menyerang Pulau Jawa dengan mendaratkan pasukannya di Banten, Indramayu dan Banyuwangi. Dalam waktu singkat berhasil menduduki tempat strategis di Pulau Jawa. Akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati, Jawa Barat. Maka sejak itulah Jepang berkuasa di Indonesia.

Masa pendudukan Jepang di Yogyakarta berlangsung sejak tanggal 6 Maret 1942. Mereka segera menempati gedung-gedung pemerintah semula ditempati pemerintah Belanda. Pendudukan tentara Jepang atas kota Yogyakarta berjalan sangat lancar tanpa ada perlawanan. Dengan semboyan Tiga A (A Light, A Leader, A Hider/ Nipon Cahaya Asia, Nipon Pemimpin Asia dan Nipon Pelindung Asia), mereka melakukan pawai dengan jalan kaki dan bersepeda bergerak menuju pusat kota Yogyakarta. Hal ini dilakukan untuk menarik simpati rakyat Yogyakarta.

Tanggal 7 Maret 1942, pemerintah Jepang memperlakukan UU nomor 1 tahun 1942 bahwa kedudukan pimpinan daerah tetap diakui tetapi berada di bawah pengawasan Kooti Zium Kyoku Tjokan (Gubernur Jepang) yang berkantor di Gedung Tjokan Kantai (Gedung Agung). Pusat kekuatan tentara Jepang disamping ditempatkan di Kotabaru juga dipusatkan di Benteng Vredeburg. Tentara Jepang yang bermarkas di Benteng Vredeburg adalah Kempeitei yaitu tentara pulihan yang terkenal keras dan kejam.

Di samping itu Benteng Vredeburg juga digunakan sebagai tempat penahanan bagi tawanan orang Belanda maupun Indo Belanda yang ditangkap. Juga kaum politisi Indonesia yang berhasil ditangkap karena mengadakan gerakan menentang Jepang.

Guna mencukupi kebutuhan senjata, tentara Jepang mendatangkan persenjataan dari Semarang. Sebelum dibagikan ke pos-pos yang memerlukan terlebih dahulu di simpan di Benteng Vredeburg. Gudang mesiu terletak di setiap sudut benteng kecuali di sudut timur laut. Hal itu dengan pertimbangan bahwa di kawasan tersebut keamanan lebih terjamin. Penempatan gudang mesiu di setiap sudut benteng dimaksudkan untuk mempermudah disaat terjadi perang secara mendadak.

Penguasaan Jepang atas Benteng Vredeburg berlangsung dari tahun 1942 sampai dengan tahun 1945, ketika proklamasi telah berkumandang dan nasionalisasi bangunan-bangunan yang dikuasai Jepang mulai dilaksanakan. Selama itu meskipun secara de facto dikuasai oleh Jepang tetapi secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan.

Dari uraian itu dapat dikatakan bahwa pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) bangunan Benteng Vredeburg difungsikan sebagai markas tentara Kempeitei, gudang mesiu dan rumah tahanan bagi orang Belanda dan Indo Belanda serta kaum politisi RI yang menentang Jepang.

BENTENG VREDEBURG PADA MASA KEMERDEKAAN

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 telah berkumandang di Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Berita tersebut sampai ke Yogyakarta melalui Kantor Berita Domei Cabang Yogyakarta (sekarang Perpustakaan Daerah, Jl. Malioboro Yogyakarta). Kepala Kantor Berita Domei Cabang Yogyakarta waktu itu adalah orang Jepang. Sedangkan kepala bagian radio adalah Warsono, dengan dibantu oleh tenaga-tenaga lainnya, yaitu Soeparto, Soetjipto, Abdullah dan Umar Sanusi.

Pada siang hari itu, berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia disambut dengan perasaan lega oleh seluruh rakyat Yogyakarta. Ditambah dengan keluarnya Pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Pernyataan 5 September 1945) yang kemudian diikuti oleh Sri Paku Alam VIII yang berisi dukungan atas berdirinya Negara baru, Negara Republik Indonesia, maka semangat rakyat semakin berapi-api.

Sebagai akibatnya terjadi berbagai aksi spontan seperti pengibaran bendera Merah Putih, perampasan bangunan dan juga pelucutan senjata Jepang. Masih kuatnya pasukan Jepang yang berada di Yogyakarta, menyebabkan terjadinya kontak senjata seperti yang terjadi di Kotabaru Yogyakarta. Dalam aksi perampasan gedung ataupun fasilitas lain milik Jepang, Benteng Vredebug juga menjadi salah satu sasaran aksi.

Setelah Benteng dikuasai oleh pihak RI untuk selanjutnya penanganannya diserahkan kepada Instansi Militer yang kemudian dipergunakan sebagai asrama dan markas pasukan yang tergabung dalam pasukan dengan kode Staf “Q” di bawah Komandan Letnan Muda I Radio, yang bertugas mengurusi perbekalan militer. Sehingga tidak mustahil bila pada periode ini Benteng Vredeburg disamping difungsikan sebagai markas juga sebagai gudang perbekalan termasuk senjata, mesiu dll. Pada tahun 1946 di dalam komplek Benteng Vredeburg didirikan Rumah Sakit Tentara untuk melayani korban pertempuran. Namun dalam perkembangannya rumah sakit tersebut juga melayani tentara beserta keluarganya.

Ketika tahun 1946 kondisi politik Indonesia mengalami kerawanan disaat perbedaan peersepsi akan arti revolusi yang sedang terjadi, maka meletuslah peristiwa yang dikenal dengan “Peristiwa 3 Juli 1946”, yaitu percobaan Kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Mayor Soedarsono. Karena usaha tersebut gagal maka para tokoh yang terlibat dalam peristiwa tersebut seperti Mohammad Yamin, Tan Malaka dan Soedarsono ditangkap. Sebagai tahanan politik mereka pernah ditempatkan di Benteng Vredeburg.

BENTENG VREDEBURG PADA MASA PENDUDUKAN BELANDA

Sejalan dengan perkembangan politik yang terjadi di Indonesia dari waktu ke waktu, maka terjadi pula perubahan atas status kepemilikan dan fungsi bangunan Benteng Vredeburg. Secara kronologis perkembangan status tanah dan bangunan Benteng Vredeburg sejak awal dibangunnya (1760) sampai dengan runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda (1942) adalah sebagai berikut:

1. Tahun 1760-1765

Pada awal pembangunannya tahun 1760 status tanah merupakan milik kasultanan. Tetapi dalam penggunaannya dihibahkan Belanda (VOC) di bawah pengawasan Nicolas Hartingh, Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa.

2. Tahun 1765-1788

Secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan, tetapi secara defacto penguasaan benteng dari tanahnya dipegang oleh Belanda, usul gubernur W.H. Van Ossenberg (pengganti Nicolas Hartingh) agar bangunan benteng lebih disempurnakan, dilaksanakan pada tahun 1767. Periode ini merupakan periode penyempurnaan benteng yang lebih terarah pada satu bentuk benteng pertahanan.

3. Tahun 1788-1799

Pada periode ini status tanah benteng secara yuridis formal tetap milik kasultanan, secara de facto dikuasai Belanda. Periode ini merupakan saat digunakannya benteng secara sempurna oleh Belanda (VOC). Bangkrutnya VOC tahun 1799 menyebabkan penguasaan benteng diambil alih oleh Bataafsche Republic (Pemerintah Belanda). Secara de facto menjadi milik pemerintah Kerajaan Belanda.

4. Tahun 1799-1807

Status tanah benteng secara yuridis formal tetap milik kasultanan, tetapi penggunaan benteng secara de facto menjadi milik Bataache Republik (Pemerintahan Belanda) di bawah Gubernur Van Den Burg. Benteng tetap difungsikan sebagai markas pertahanan.

5. Tahun 1807-1811

Pada periode ini benteng diambil alih pengelolaannya oleh Koninklijik Hollland .Maka secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan, tetapi secara de facto menjadi milik Pemerintah Kerajaan Belanda di bawah Gubernur Deandels.

6. Tahun 1811-1816

Ketika Inggris berkuasa di Indonesia 1811-1816, untuk sementara benteng dikuasai Inggris di bawah Gubernur Jenderal Rafles. Namun dalam waktu singkat Belanda dapat mengambil alih. Secara yuridis formal benteng tetap milik kasultanan.

7. Tahun 1816-1942

Status tanah benteng tetap milik kasultanan, tetapi secara de facto dipegang oleh pemerintah Belanda. Karena kuatnya pengaruh Belanda maka pihak kasultanan tidak berbuat banyak dalam mengatasi masalah penguasaan atas benteng. Sampai akhirnya benteng dikuasai bala Tentara Jepang tahun 1942 setelah Belanda menyerah kepada Jepang ditandai dengan Perjanjian Kalijaga bulan Maret 1842 di Jawa Barat.

BENTENG VREDEBURG PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG

Jatuhnya Singapura ke tangan Jepang, membuat kedudukan pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda terancam. Ketika akan menyerang Indonesia, Jepang lebih dulu menguasai daerah-daerah penghasil minyak bumi di Kalimantan Timur seperti Tarakan, Pulau Bunyu dan Balikpapan. Penguasaan daerah tersebut sangat penting untuk mendukung kepentingan perang pasukan Jepang di kawasan Pasifik. Setelah Kalimantan, Jepang kemudian menyerang Sumatra yaitu Dumai, Pekanbaru dan Palembang. Terakhir baru Jepang menyerang Pulau Jawa dengan mendaratkan pasukannya di Banten, Indramayu dan Banyuwangi. Dalam waktu singkat berhasil menduduki tempat strategis di Pulau Jawa. Akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati, Jawa Barat. Maka sejak itulah Jepang berkuasa di Indonesia.

Masa pendudukan Jepang di Yogyakarta berlangsung sejak tanggal 6 Maret 1942. Mereka segera menempati gedung-gedung pemerintah semula ditempati pemerintah Belanda. Pendudukan tentara Jepang atas kota Yogyakarta berjalan sangat lancar tanpa ada perlawanan. Dengan semboyan Tiga A (A Light, A Leader, A Hider/ Nipon Cahaya Asia, Nipon Pemimpin Asia dan Nipon Pelindung Asia), mereka melakukan pawai dengan jalan kaki dan bersepeda bergerak menuju pusat kota Yogyakarta. Hal ini dilakukan untuk menarik simpati rakyat Yogyakarta.

Tanggal 7 Maret 1942, pemerintah Jepang memperlakukan UU nomor 1 tahun 1942 bahwa kedudukan pimpinan daerah tetap diakui tetapi berada di bawah pengawasan Kooti Zium Kyoku Tjokan (Gubernur Jepang) yang berkantor di Gedung Tjokan Kantai (Gedung Agung). Pusat kekuatan tentara Jepang disamping ditempatkan di Kotabaru juga dipusatkan di Benteng Vredeburg. Tentara Jepang yang bermarkas di Benteng Vredeburg adalah Kempeitei yaitu tentara pulihan yang terkenal keras dan kejam.

Di samping itu Benteng Vredeburg juga digunakan sebagai tempat penahanan bagi tawanan orang Belanda maupun Indo Belanda yang ditangkap. Juga kaum politisi Indonesia yang berhasil ditangkap karena mengadakan gerakan menentang Jepang.

Guna mencukupi kebutuhan senjata, tentara Jepang mendatangkan persenjataan dari Semarang. Sebelum dibagikan ke pos-pos yang memerlukan terlebih dahulu di simpan di Benteng Vredeburg. Gudang mesiu terletak di setiap sudut benteng kecuali di sudut timur laut. Hal itu dengan pertimbangan bahwa di kawasan tersebut keamanan lebih terjamin. Penempatan gudang mesiu di setiap sudut benteng dimaksudkan untuk mempermudah disaat terjadi perang secara mendadak.

Penguasaan Jepang atas Benteng Vredeburg berlangsung dari tahun 1942 sampai dengan tahun 1945, ketika proklamasi telah berkumandang dan nasionalisasi bangunan-bangunan yang dikuasai Jepang mulai dilaksanakan. Selama itu meskipun secara de facto dikuasai oleh Jepang tetapi secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan.

Dari uraian itu dapat dikatakan bahwa pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) bangunan Benteng Vredeburg difungsikan sebagai markas tentara Kempeitei, gudang mesiu dan rumah tahanan bagi orang Belanda dan Indo Belanda serta kaum politisi RI yang menentang Jepang.

BENTENG VREDEBURG PADA MASA KEMERDEKAAN

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 telah berkumandang di Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Berita tersebut sampai ke Yogyakarta melalui Kantor Berita Domei Cabang Yogyakarta (sekarang Perpustakaan Daerah, Jl. Malioboro Yogyakarta). Kepala Kantor Berita Domei Cabang Yogyakarta waktu itu adalah orang Jepang. Sedangkan kepala bagian radio adalah Warsono, dengan dibantu oleh tenaga-tenaga lainnya, yaitu Soeparto, Soetjipto, Abdullah dan Umar Sanusi.

Pada siang hari itu, berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia disambut dengan perasaan lega oleh seluruh rakyat Yogyakarta. Ditambah dengan keluarnya Pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Pernyataan 5 September 1945) yang kemudian diikuti oleh Sri Paku Alam VIII yang berisi dukungan atas berdirinya Negara baru, Negara Republik Indonesia, maka semangat rakyat semakin berapi-api.

Sebagai akibatnya terjadi berbagai aksi spontan seperti pengibaran bendera Merah Putih, perampasan bangunan dan juga pelucutan senjata Jepang. Masih kuatnya pasukan Jepang yang berada di Yogyakarta, menyebabkan terjadinya kontak senjata seperti yang terjadi di Kotabaru Yogyakarta. Dalam aksi perampasan gedung ataupun fasilitas lain milik Jepang, Benteng Vredebug juga menjadi salah satu sasaran aksi.

Setelah Benteng dikuasai oleh pihak RI untuk selanjutnya penanganannya diserahkan kepada Instansi Militer yang kemudian dipergunakan sebagai asrama dan markas pasukan yang tergabung dalam pasukan dengan kode Staf “Q” di bawah Komandan Letnan Muda I Radio, yang bertugas mengurusi perbekalan militer. Sehingga tidak mustahil bila pada periode ini Benteng Vredeburg disamping difungsikan sebagai markas juga sebagai gudang perbekalan termasuk senjata, mesiu dll. Pada tahun 1946 di dalam komplek Benteng Vredeburg didirikan Rumah Sakit Tentara untuk melayani korban pertempuran. Namun dalam perkembangannya rumah sakit tersebut juga melayani tentara beserta keluarganya.

Ketika tahun 1946 kondisi politik Indonesia mengalami kerawanan disaat perbedaan peersepsi akan arti revolusi yang sedang terjadi, maka meletuslah peristiwa yang dikenal dengan “Peristiwa 3 Juli 1946”, yaitu percobaan Kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Mayor Soedarsono. Karena usaha tersebut gagal maka para tokoh yang terlibat dalam peristiwa tersebut seperti Mohammad Yamin, Tan Malaka dan Soedarsono ditangkap. Sebagai tahanan politik mereka pernah ditempatkan di Benteng Vredeburg.

BANGUNAN

Sesuai dengan awal bahwa benteng Vredeburg dibangun untuk dijadikan sebuah benteng pertahanan. Sehingga dalam perkembangannya pun bangunan-bangunan pedukung yang didirikan bertolak dari konsep sebagai pertahanan . Hal itu dapat dilihat dari beberapa bangunan yang masih dapat dijumpai sekarang , antara lain :

Selokan atau Parit

Parit atau selokan ini dibuat dengan maksud rintangan paling luar terhadap serangan musuh. Parit dibuat di sekeliling benteng dengan perhitungan bahwa musuh akan datang dari segala arah. Tetapi perkembangan selanjutnya, ketika sistem kemiliteran telah mengalami kemajuan, parit sebagai sarana pertahanan sudah tidak urgen lagi. Bahkan untuk tahun-tahun berikut parit hanya berfungsi sebagai sarana drainage (pembuangan) saja. Untuk memberikan kesan kepada masyarakat bahwa sekeliling benteng terdapat parit, sisa parit masih dapat dilihat dibawah jembatan depan gerbang sebelah barat .

Jembatan

Pada masa awal Benteng Vredeburg dibangun, antar daerah dalam benteng dengan luar benteng dihubungkan dengan jembatan (jembatan angkat ). Menurut rencana awal benteng dibangun dengan konsep simetris, sehingga dengan demikian jembatan yang dibuat berjumlah empat buah yaitu menghadap keempat penjuru (barat, selatan, timur, dan utara). Tetapi berdasarkan data yang ditemukan, bekas-bekas jembatan hanya dapat dijumpai utara tidak ditemukan. Hal ini dapat saja terjadi dalam proses pembangunan yang telah dibuat dalam konsep awal bangunan benteng, di sisi utara dipandang sudah aman sehingga untuk jembatan sebelah utara benteng dipandang sudah tidak perlu.

Untuk saat ini jembatan yang masih dapat dilihat adalah jembatan yang telah mengalami perkembangan kemudian. Hal itu terjadi seiring dengan perkembangan teknologi khususnya kendaraan perang. Sehingga jembatan yang tadinya berupa jembatan gantung, sudah tidak mungkin lagi mampu menopang kendaraan perang yang keluar masuk benteng.

Tembok (Benteng)

Lapisan pertahanan sesudah parit adalah tembok (benteng) yang mengelilingi komplek benteng Vrederburg. Di sisi tembok sebelah dalam juga dibuat anjungan, sehingga praktis tembok (benteng) ini dapat berfungsi sebagai tempat pertahanan, pengintaian, penempatan meriam-meriam kecil maupun senjata tangan. Dengan begitu jarak pandang pengintaian maupun jarak tembak akan lebih leluasa.

Saat sekarang sebagian anjungan (sebelah timur sebagian, sebelah barat dan sebelah selatan) masih dapat dilihat. Juga relung-relung di atas tembok (benteng) sebagai tempat meriam maupun senjata tangan lainnya. Pembongkaran anjungan ini diperkirakan karena perkembangan situasi dimana keamanan telah lebih terjamin, sehingga anjungan dipandang sudah tidak diperlukan lagi.

Pintu Gerbang Barat

Pintu gerbang sebagai sarana (jalan) keluar ataupun masuk komplek benteng. Mengingat konsep awal bahwa benteng dibangun dengan konsep simetris maka pintu gerbang yang ada berjumlah empat buah (selatan, timur, utara, dan barat ). Tetapi karena proses pembangunan benteng itu sendiri memakan waktu yang amat panjang, sehingga sangat dimungkinkan konsep awal tersebut berubah karena situasi keamanan yang mengharuskan pintu gerbang yaitu sebelah barat, timur dan selatan. Di sebelah selatan hanya dibuat kecil dan lebih tepat kalau disebut terowongan. Sehingga arus keluar masuk penghuni benteng melewati pintu gerbang barat dan timur saja.

Bangunan-Bangunan di Bagian Tengah

Di dalam komplek Benteng Vredeburg bangunan-bangunan yang ada berupa bangsal-bangsal. Semula bangsal-bangsal tersebut berfungsi sebagai barak para prajurit maupun perwira. Akan tetapi dalam perkembagan selanjutnya sejalan dengan perkembangan fungsi bangunan yang bukan lagi sebagai tempat pertahanan melainkan sebagai tangsi militer, bangunan tersebut lebih tepat disebut sebagai tempat tinggal. Hal itu dapat dilihat dari dibangunnya bangunan-bangunan baru.

Di antara bangunan-bangunan yang ada juga masih dapat terlihat adanya lapangan di dalam komplek Benteng Vredeburg yang relatif luas.

Semula lapangan tersebut dimungkinkan untuk tempat persiapan militer, latihan maupun upacara-upacara militer lainnya. Setelah Benteng Vredeburg fungsi sebagai tangsi militer yang dimungkinkan prajurit akan membawa keluarganya, maka lpagan tersebut beralih fungsi sebagai halaman dan tempat bermain saja.

Hal itu juga berlaku dengan anjungan di sisi selatan, barat dan timur sebagian. Yang semula dibangun sebagai sarana pendukung pertahanan untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi.