Gunung Merapi (2914 meter) hingga saat ini masih dianggap sebagai gunung berapi aktif dan paling berbahaya di Indonesia, namun menawarkan panorama dan atraksi alam yang indah dan menakjubkan. Secara geografis terletak di perbatasan Kabupaten Sleman (DIY), Kabupaten Magelang (Jateng), Kabupaten Boyolali (Jateng) dan Kabupaten Klaten (Jateng). Berjarak 30 Km ke arah utara Kota Yogyakarta, 27 Km ke arah Timur dari Kota Magelang, 20 Km ke arah barat dari Kota Boyolali dan 25 Km ke arah utara dari Kota Klaten.
Menurut Atlas Tropische Van Nederland lembar 21 (1938) terletak pada posisi geografi 7 derajad 32.5' Lintang Selatan dan 110 derajad 26.5' Bujur Timur. Dengan ketinggian 2914 m diatas permukaan air laut. Berada pada titik persilangan sesar Transversal perbatasan DIY dan Jawa Tengah serta sesar Longitudinal lintas Jawa (lihat Triyoga Lucas Sasongko 1990, Manusia Jawa & Gunung Merapi Persepsi dan Sistem Kepercayaanya, Gadjahmada Univ. Press). Meletus lebih dari 37 kali, terbesar pada tahun 1972 yang menewaskan 3000 jiwa. Terakhir meletus pada Selasa Kliwon tanggal 22 November 1994, dengan korban tewas lebih dari 50 orang
Untuk memahami mitologi Gunung Merapi tidak bisa terlepas dari filosofi Kota Yogyakarta dengan karaton sebagai pancernya. Kota ini terbelah oleh sumbu imajiner yang menghubungkan Laut Kidul, Parangkusumo - Panggung Krapyak - Karaton - Tugu Pal Putih dan Gunung Merapi. Secara filosofis hal ini dibagi menjadi dua aspek, yaitu Jagat Alit dan Jagat Ageng. Jagat alit, yang mengurai proses awal-akhir hidup dan kehidupan manusia dengan segala perilaku yang lurus sehingga terpahaminya hakekat hidup dan kehidupan manusia, digambarkan dengan planologi Kota Yogyakarta sebagai Kota Raja pada waktu itu.
Planologi kota ini membujur dari selatan ke utara berawal dari Panggung Krapyak, berakhir di Tugu Pal Putih. Hal ini menekankan hubungan timbal balik antara Sang Pencipta dan manusia sebagai ciptaannnya (Sangkan Paraning dumadi). Dalam perjalanan hidupnya manusia tergoda oleh berbagai macam kenikmatan duniawi. Godaan tersebut dapat berupa wanita dan harta yang digambarkan dalam bentuk pasar Beringharjo. Adapun godaan akan kekuasaan digambarkan oleh komplek Kepatihan yang kesemuanya berada pada sisi kanan pada jalan lurus antara kraton dan Tugu Pal Putih, sebagai lambang manusia yang dekat dengan pencipta-Nya (Manunggalaing Kawula Gusti). Jagat Ageng, yang mengurai tentang hidup dan kehidupan masyarakat, di mana sang pemimpin masyarakat siapapaun dia senantiasa harus menjadikan hati nurani rakyat sebagai isteri pertama dan utamanya guna mewujudkan kesejahteraan lahir bathin bagi masyarakat dilandasi dengan keteguhan dan kepercayaan bahwa hanya satu pencipta yang Maha Besar. Jagat Ageng ini digambarkan dengan garis imajiner dari Parangkusuma di Laut selatan - Karaton Yogyakarta - Gunung Merapi. Hal ini lebih menekankan hubungan antara manusia yang hidup di dunia dimana seorang manusia harus memahami terlebih dahulu hakekat hidup dan kehidupannya sehingga mampu mencapai kesempurnaan hidup (Manungggaling Kawula Gusti). Gunung Merapi menduduki posisi penting dalam mitologi Jawa, diyakini sebagai pusat kerajaan mahluk halus, sebagai "swarga pangrantunan", dalam alur perjalanan hidup yang digambarkan dengan sumbu imajiner dan garis spiritual kelanggengan yang menghubungkan Laut Kidul - Panggung krapyak - Karaton Yogyakarta - Tugu Pal Putih - Gunung Merapi.
Simbol ini mempunyai makna tentang proses kehidupan manusia mulai dari lahir sampai menghadap kepada sang Maha Pencipta. Menurut foklor yang diceritakan oleh Juru Kunci Merapi yang bernama R. Ng. Surakso Hargo atau sering disebut mbah Marijan disebutkan bahwa konon Karaton Merapi ini dikuasai oleh Empu Rama dan Empu Permadi. Dahulu sebelum kehidupan manusia, keadaan dunia miring tidak stabil. Batara Guru memerintahkan kepada kedua Empu untuk membuat keris, sebagai pusaka tanah Jawa agar dunia stabil. Namun belum selesai keburu mengutus para Dewa untuk memindahkan G. Jamurdipa yang semula berada di Laut Selatan ke Pulau Jawa bagian tengah, utara Kota Yogyakarta (sekarang) dimana kedua Empu tersebut sedang mengerjakan tugasnya. Karena bersikeras berpegang pada "Sabda Pendhita Ratu" (satunya kata dan perbuatan) serta tidak mau memindahkan kegiatannya, maka terjadilah perang antara para Dewa dengan kedua Empu tadi yang akhirnya dimenangkan oleh kedua Empu tersebut.
Mendengar kekalahan para Dewa, Batara Guru memerintahkan Batara Bayu untuk menghukum keduanya dengan meniup G. Jamurdipa sehingga terbang diterpa angin besar ke arah utara dan jatuh tepat diatas perapian dan mengubur mati Empu Rama dan Permadi. Namun sebenarnya dia tidak mati hanya berubah menjadi ujud yang lain dan akhirnya menguasai Kraton makhluk halus di tempat itu. Sejak itu arwahnya dipercaya untuk memimpin kerajaan di Gunung Merapi tersebut. Masyarakat Karaton Merapi adalah komunitas arwah mereka yang tatkala hidup didunia melakukan amal yang baik. Bagi mereka yang selalu melakukan amalan yang jelek arwahnya tidak bisa diterima dalam komunitas mahluk halus Karaton Merapi, biasanya terus nglambrang kemana-mana lalu hinggap di batu besar, jembatan, jurang dsb menjadi penunggu tempat tersebut.
Menurut cerita rakyat yang lain yang juga diceritakan oleh mbah Marijan : Konon pada masa kerajaan Mataram tepatnya pada pemerintahan Panembahan Senopati Pendiri Dinasti Mataram (1575-1601). Panembahan Senopati mempunyai kekasih yang bernama Kanjeng Ratu Kidul, Penguasa Laut Selatan. Ketika keduanya sedang memadu kasih dia diberi sebutir "endhog jagad" (telur dunia) untuk dimakan. Namun dinasehati oleh Ki Juru Mertani agar endog jagad tersebut jangan dimakan tapi diberikan saja kepada Ki Juru Taman. Setelah memakannya ternyata Juru Taman berubah menjadi raksasa, dengan wajah yang mengerikan. Kemudian Panembahan Senopati memerintahkan kepada si raksasa agar pergi ke G. Merapi dan diangkat menjadi Patih Karaton Merapi, dengan sebutan Kyai Sapujagad. (Marijan 1996, wawancara) Sebagai perwujudan kepercayaan Karaton Mataram terhadap keberadaan sekutu mistisnya yaitu Karaton Kidul (di Samodera Indonesia) dan Karaton Merapi ini, maka diselenggarakan prosesi Labuhan. Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya persembahan. Upacara adat karaton Mataram (Yogyakarta dan Surakarta) ini sebagai perwujudan doa persembahan kepada Tuhan YME agar karaton dan rakyatnya selalu diberi keselamatan dan kemakmuran. Labuhan biasanya diselenggarakan di beberapa tempat antara lain di : G. Merapi, Pantai Parangkusumo, G. Lawu dan Kahyangan Dlepih. Biasanya dilaksanakan untuk memulai suatu upacara besar tertentu seperti Tingalan Jumenengan. Barang-barang milik raja yang dilabuh antara lain : Semekan solok, semekan, kain cinde, lorodan layon sekar, guntingan rikmo, dan kenoko selama setahun, seperangkat busana sultan dan kuluk kanigoro. Disamping labuhan ada beberapa upacara selamatan yang lain yang dilakukan oleh masyarakat setempat, seperti : Sedekah Gunung, Selamatan Ternak, Selamatan Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, Selamatan Mencari Orang Hilang, Selamatan Orang Kesurupan, Selamatan Sekul Bali, Selamatan Mengambil Jenazah, Selamatan Menghadapi Bahaya Merapi, dll. Dua diantaranya ditunjukkan oleh Upacara Becekan dan Upacara Banjir Lahar berikut ini. Upacara Becekan, disebut juga Dandan Kali atau Memetri Kali yang berarti memelihara atau memperbaiki lingkungan sungai, berupa upacara meminta hujan pada musim kemarau yang berlangsung di Kalurahan Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Air sungai sangat penting bagi penduduk setempat untuk keperluan pertanian. Konon sesudah diadakan upacara biasanya segera turun hujan sehingga tanah menjadi becek maka lalu disebut becekan. Becek diartikan juga sebagai sesaji berujud daging kambing yang dimasak gulai. Dusun yang melaksanakan upacara ini antara lain : Dusun Pagerjurang, Dusun Kepuh dan Dusun Manggong. Penyelenggaraannya dibagi menjadi beberapa tahap: Pertama, memetri sumur di Dusun Kepuh (di kawasan itu hanya dusun ini yang memiliki sumur); Kedua, Upacara Becekan dilakukan di tengah-tengah Sungai Gendol; Ketiga upacara khusus di masing-masing dusun.
Upacara ini dimaksudkan untuk berdoa memohon hujan kepada Tuhan YME agar tanah menjadi subur, sehingga warga menjadi sehat, aman, selamat dan sejahtera. Waktu penyelenggaraan, menggunakan pranotomongso yaitu pada mongso kapat dan harinya Jumat Kliwon, jika pada mongso kapat tidak terdapat Jumat Kliwon diundur pada mongso kalimo, sebab hari itu dianggap keramat. Upacara ini dipimpin oleh seorang modin dan diikuti oleh warga ketiga dusun. Perlu diketahui bahwa seluruh rangkaian acara ini harus dilakukan/diikuti oleh kaum laki-laki dan sesaji sama sekali tidak boleh disentuh oleh wanita serta kambing untuk sesaji harus kambing jantan. Upacara Banjir Lahar, tradisi penduduk sekitar gunung berapi, khususnya dalam menanggapi bencana lahar. Salah satunya bisa disaksikan di Dusun Tambakan, Desa Sindumartani, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, sebagai salah satu desa yang sering dilewati bencana lahar (dingin atau panas) dari Gunung Merapi. Upacara ini berupa doa mohon keselamatan dan perlindungan kepada Tuhan YME bagi segenap penduduk agar terhindar dari marabahaya, disertai dengan peletakan sesaji berupa kelapa muda di sungai yang diperkirakan akan dilewati lahar. Hal ini dilakukan bila telah melihat tanda-tanda alam akan datangnya bencana lahar yang telah mereka kenal secara turun temurun. Penduduk yang bermukim di tepi sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi kadang mendengar suara-suara aneh di malam hari, misalnya gemerincing suara kereta kencana yang lewat. Konon merupakan pertanda bahwa Karaton Merapi sedang mengirimkan rombongan dalam rangka hajat untuk mengawinkan kerabatnya dengan salah satu penghuni Karaton Laut Kidul. Hal itu ditafsirkan sebagai pertanda mistis bahwa sebentar lagi akan terjadi banjir lahar yang akan melalui sungai itu, sehingga bagi mereka yang tahu akan segera membuat langkah-langkah pengamanan dan penyelamatan. Adapun tujuan dari penyelenggaraan berbagai prosesi selamatan tersebut konon adalah untuk berdoa memohon keselamatan dan kelimpahan rejeki kepada Tuhan YME serta memberi sedekah kepada makhluk halus penghuni Merapi agar tidak mengganggu penduduk, damai dan terbebas dari marabahaya, sehingga tercipta satu harmoni antara manusia dan lingkungan alam. Apabila perilaku manusia negatif maka maka alampun akan negatif pula. Konsep keseimbangan yang menjadi kearifan penduduk sekitar Gunung Merapi merupakan implementasi dari nilai-nilai yang mereka percaya bahwa para penghuni akan murka ketika menyimpang dari kaidah-kaidah alam yang benar dan seimbang. Letak harmoninya tidak saja terletak pada sesaji yang disediakan namun pada perilaku yang selalu diusahakan untuk tidak nyebal (menyimpang) dari kaedah-kaedah keseimbangan alam, yang selalu selaras serasi dan seimbang untuk menjaga keutuhan ekosistem.
Merapi adalah nama sebuah gunung berapi di provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta, yang masih sangat aktif hingga saat ini. Sejak tahun 1548, gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali. Letaknya cukup dekat dengan Kota Yogyakarta dan masih terdapat desa-desa di lerengnya sampai ketinggian 1700 m. Bagi masyarakat di tempat tersebut, Merapi membawa berkah material pasir, sedangkan bagi pemerintah daerah, Gunung Merapi menjadi obyek wisata bagi para wisatawan. Kini Merapi termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merapi.
Gunung Merapi adalah yang termuda dalam kumpulan gunung berapi di bagian selatan Pulau Jawa. Gunung ini terletak di zona subduksi, dimana Lempeng Indo-Australia terus bergerak ke bawah Lempeng Eurasia. Letusan di daerah tersebut berlangsung sejak 400.000 tahun lalu, dan sampai 10.000 tahun lalu jenis letusannya adalah efusif. Setelah itu, letusannya menjadi eksplosif, dengan lava kental yang menimbulkan kubah-kubah lava.
Letusan-letusan kecil terjadi tiap 2-3 tahun, dan yang lebih besar sekitar 10-15 tahun sekali. Letusan-letusan Merapi yang dampaknya besar antara lain di tahun 1006, 1786, 1822, 1872, dan 1930. Letusan besar pada tahun 1006 membuat seluruh bagian tengah Pulau Jawa diselubungi abu. Diperkirakan, letusan tersebut menyebabkan kerajaan Mataram Kuno harus berpindah ke Jawa Timur. Letusannya di tahun 1930 menghancurkan 13 desa dan menewaskan 1400 orang.
Letusan pada November 1994 menyebabkan hembusan awan panas ke bawah hingga menjangkau beberapa desa dan memakan korban puluhan jiwa manusia. Letusan 19 Juli 1998 cukup besar namun mengarah ke atas sehingga tidak memakan korban jiwa. Catatan letusan terakhir gunung ini adalah pada tahun 2001-2003 berupa aktivitas tinggi yang berlangsung terus-menerus.
Gunung Merapi merupakan obyek pendakian yang populer, karena gunung ini merupakan gunung yang sangat mempesona. Jalur pendakian yang paling umum dan dekat adalah melalui sisi utara dari Sèlo, satu kecamatan di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, yang terletak di antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Pendakian melalui Selo memakan waktu rata-rata 5 jam hingga ke puncak.
Jalur populer lain adalah melalui Kaliurang, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta di sisi selatan. Jalur ini lebih terjal dan memakan waktu sekitar 6-7 jam hingga ke puncak. Jalur alternatif yang lain adalah melalui sisi barat laut, dimulai dari Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dan melalui sisi tenggara, dari arah Deles, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Sejarah geologi
Di bulan April dan Mei 2006, mulai muncul tanda-tanda bahwa Merapi akan meletus kembali, ditandai dengan gempa-gempa dan deformasi. Pemerintah daerah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta sudah mempersiapkan upaya-upaya evakuasi. Instruksi juga sudah dikeluarkan oleh kedua pemda tersebut agar penduduk yang tinggal di dekat Merapi segera mengungsi ke tempat-tempat yang telah disediakan.
Pada tanggal 15 Mei 2006 akhirnya Merapi meletus. Lalu pada 4 Juni 2006, dilaporkan bahwa aktivitas Gunung Merapi telah melampaui status awas. Kepala BPPTK Daerah Istimewa Yogyakarta, Ratdomo Purbo menjelaskan bahwa sekitar 2-4 Juni volume lava di kubah Merapi sudah mencapai 4 juta meter kubik - artinya lava telah memenuhi seluruh kapasitas kubah Merapi sehingga tambahan semburan lava terbaru akan langsung keluar dari kubah Merapi.
1 Juni 2006, Hujan abu vulkanik dari luncuran awan panas Gunung Merapi yang lebat, tiga hari belakangan ini terjadi di Kota Magelang dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Muntilan sekitar 14 kilometer dari Puncak Merapi, paling merasakan hujan abu ini.
8 Juni 2006, Gunung Merapi pada pukul 09:03 WIB meletus dengan semburan awan panas yang membuat ribuan warga di wilayah lereng Gunung Merapi panik dan berusaha melarikan diri ke tempat aman. Hari ini tercatat dua letusan Merapi, letusan kedua terjadi sekitar pukul 09:40 WIB. Semburan awan panas sejauh 5 km lebih mengarah ke hulu Kali Gendol (lereng selatan) dan menghanguskan sebagian kawasan hutan di utara Kaliadem di wilayah Kabupaten Sleman.
20 September 2010, Status Gunung Merapi dinaikkan dari Normal menjadi Waspada oleh BPPTK Yogyakarta. 21 Oktober, Status berubah menjadi Siaga pada pukul 18.00 WIB. 25 Oktober, BPPTK Yogyakarta meningkatkan status Gunung Merapi menjadi Awas pada pukul 06.00 WIB. 26 Oktober, Gunung Merapi memasuki tahap erupsi. Menurut laporan BPPTKA, letusan terjadi sekitar pukul 17.02 WIB. Sedikitnya terjadi hingga tiga kali letusan. Letusan diiringi keluarnya awan panas setinggi 1,5 meter yang mengarah ke Kaliadem, Kepuharjo. Letusan ini menyemburkan material vulkanik setinggi kurang lebih 1,5 km. 27 Oktober 2010 Gunung Merapi pun meletus. Dari sekian lama penelitian gunung teraktif di dunia ini pun meletus.
Akhirnya kira kira pukul merapi Meletus dengan meluncurkan awan panas atau wedhus gembel. Awan panas ini memakan korban sejumlah pengungsi tercatat 13 warga terkena awan panas. Ke 13 korban wedus gembel di larikan ke rumah sakit panti nugroho. Seorang warga Desa Cinarejo, Kecamatan Cangkringan, Yogyakarta, terkena awan panas Merapi hingga mengakibatkan sekujur tubuhnya melepuh.. Dua korban awan panas Gunung Merapi warga Desa Kinarejo, Sleman, DIY, Selasa 26/10/2010 malam sudah berada di RS Panti Nugroho, Pakem. Abu Merapi terus mengguyur warga. Bahkan di desa Ngipiksari menjadi lautan abu. Kini warga sedang dievakuasi ke barak pengungsian di Kepuharjo. Tapi sejumlah armada mobil pengangkut malah ketakutan dan kabur meninggalkan desa.
Inilah salah satu Foto Korban awan panas gunung merapi meletus 2010. Di beritakan sedikitnya ada 13 orang tewas akibat semburan awan panas gunung merapi. Bahkan salh satunya adalah wartawan vivanews Yuniawan W Nugroho. Berikut ini data korban semburan awan panas gung merapi:
Ratmi, berusia 30 tahun, warga Sleman, kemudian Arip Candra berusia 23 tahun, warga Kedung Sriti, Umbulharjo Cangkringan.
Selain itu juga Sri Wahyu Nur Irawan (25) dan Mbah Pujo (68), masing-masing warga Umbulharjo serta Ngatinem (50), warga Kranggah, Umbulahrjo, Cangkringan.
Selanjutnya, Muji (50) dan Udi Sutrisno (50), warga Kinahrejo, Cangkringan dan Warjo (50), warga Ngaglik, Sleman dan Tarno (60), warga Kinahrejo.
Korban lainnya adalah Harno (50) warga Kinahrejo, dan Bilal (52) dari Panti Nugroho Pakem, serta Mursiyam (45), warga Pelemsari, Umbulharjo Sleman.
Musibah letusan Gunung Merapi, Selasa (26/10/2010) pukul 18.10, 18.15, dan 18.25, menyisakan dua pertanyaan penting dan keprihatinan publik.
Pertama, mengapa jumlah korban meninggal terempas guguran lava Merapi begitu tinggi, mencapai 32 orang, termasuk juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan (83)? Padahal, peringatan akan bahaya Merapi sudah diumumkan dan langkah antisipasi juga sudah dipersiapkan oleh pemerintah.
Kedua, masyarakat makin ingin tahu siapakah Mbah Maridjan dan bagaimana sebenarnya perannya sebagai juru kunci Gunung Merapi dari Keraton Yogyakarta, yang dalam beberapa kali peristiwa erupsi tetap memilih tinggal di rumahnya di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta? Dusun tempat tinggalnya bersama keluarganya itu adalah dusun tertinggi, berjarak hanya 4 kilometer dari puncak Merapi (2.968 meter di atas permukaan laut).
Ribuan ”alumnus” pendaki Merapi, khususnya alumnus jalur selatan lewat Kinahrejo, pasti mengenal Mbah Maridjan dan belajar mencintai alam darinya. Salah satu alumnus Merapi yang pernah menyatakan kebanggaannya sebagai pencinta alam ialah pakar politik almarhum Prof Dr Riswandha Imawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) ketika itu.
Komunitas anak muda pencinta gunung itu—jika mereka berkemah atau mendaki Merapi dari jalur Kinahrejo—pasti akan bersua dengan sosok Mbah Maridjan, yang oleh Keraton Yogyakarta diangkat sebagai juru kunci Merapi. Datang atau pergi, belum lega kalau belum sowan ”Simbah”, pemilik base camp yang lengkap menyewakan balai-balai bambu luas untuk bergelimpang istirahat di rumahnya.
Sejak awal tahun 1980-an, tempat itu sebenarnya sudah menjadi ”area dan fasilitas publik”. Di kanan-kiri rumah induknya yang berupa bangunan limasan, ada bangunan rumah yang saban hari menjadi warung tempat pendaki dan pelancong melepaskan lelah: kopi, teh, kopi jahe, kacang rebus, mi instan, nasi goreng, nasi rames, rokok, sampai obat nyamuk. Malam Minggu, begitu banyak kaum muda reriungan di sana. Gunung dan imajinasi liar menyatu.
Mbah Maridjan-lah yang memegang kata putus: kapan satu rombongan pendaki diizinkan naik, kapan tidak karena ia tahu kondisi jalur pendakian aman atau berbahaya saat itu. Hiburan yang membuat kangen, dan mengesankan anak muda dan tetamunya, tentulah karena Simbah begitu ”licin” dalam berbahasa: kosakatanya liat, dan memang cerdik.
Ucapan-ucapan juru kunci Merapi yang dilantik Maret 1983 oleh Sultan Hamengku Buwono (HB) IX itu juga tidak linier, multidimensi, dan kaya metafor. Karena itu, ucapannya sangat sering membuat orang dengan logika lurus terpeleset menafsirkannya.
Mengapa ia menjadi juru kunci Merapi? Ini bertalian dengan wilayah Merapi sebagai wilayah milik Keraton Yogyakarta. Keraton punya tradisi mengangkat juru kunci Merapi sebagai bagian dari ”pandangan dunia” lazimnya keraton Jawa, tentang garis magis imajiner antara Gunung Merapi, Keraton, dan Parangtritis di Pantai Selatan, Yogyakarta.
Di sebuah senja menjelang gerimis di tahun 2006, mendadak serombongan mahasiswa minta berteduh di kediamannya. Oom Piet, instruktur rombongan itu, ternyata sudah lama kenal Simbah, tapi begitu lama tak muncul di sana.
Mbah Maridjan spontan mengambil peci dan mengajak tamunya masuk ke rumah inti, limasan kecil di belakang bangunan joglo. Dan teh panas pun dihidangkan. ”Kebutuhan orang itu, ya, ’rasa kekurangan’ itu,” katanya, mendadak berkomentar tentang bencana banjir dan longsor di mana-mana akibat ulah manusia. ”Meski diberi sebanyak apa pun, manusia akan merasa kekurangan karena kekurangan itulah kebutuhan manusia,” kata abdi dalem keraton yang punya gelar Mas Penewu Suraksohargo itu.
Kali lain, serombongan pelancong dari Jakarta datang mencari angin di Kinahrejo. Mbah Maridjan meneror: ”Maunya ke rumah Simbah cari resep ya Mas, jebule di sini sepet. Hohohoho... lha piye niku (Maunya ke rumah Simbah mencari kenyamanan ya Mas, ternyata di rumah simbah menjemukan. Bagaimana tuh),” kata Mbah Maridjan telak, membuyarkan imajinasi soal perikehidupan desa.
Selasa siang, tiga jam sebelum erupsi terjadi, Mbah Maridjan menemui utusan Ketua PB NU Hasyim Muzadi yang ingin berkunjung pada Rabu pagi. Dalam obrolannya, siang itu Mbah Maridjan berkali-kali mengungkapkan kekesalannya kepada para wartawan. Oleh sebab itu, ia selalu menolak diambil gambar oleh wartawan. ”Wartawan itu beritanya besar, tetapi sebenarnya faktanya kecil. Sedangkan kabar yang baik, mengapa justru menjadi jelek,” katanya dalam bahasa Jawa.
Ungkapan seperti itu boleh jadi menggambarkan kekecewaannya atas ruwetnya profesi dia kini sebagai juru kunci Merapi karena cara media massa membahasakannya.
Sebutlah ”pekerjaan” sebagai juru kunci adalah ”pendakian” personalnya secara spiritual. Wilayah itu tak sepenuhnya bisa diterang-jelaskan, sebagaimana pengalaman puitis pada tradisi para kawi (sastrawan). Hal yang mirip, sepintas juga, hidup pada komunitas wayang orang di Dusun Tutup Ngisor, Kecamatan Dukun, Magelang.
Kira-kira, Mbah Maridjan itu kaget bahwa aras informasi yang masih prematur miliknya (tentang Merapi dan apa saja) mendadak menjadi sebuah konstatasi. Sebuah kepastian bahkan sering dibikin lebih menyeramkan oleh media. Dan khalayak tak jarang melanjutkannya dengan perburuan: mengerumuninya minta konfirmasi.
Inilah mengapa dalam kaitan dengan situasi kritis Merapi, Selasa siang itu, Simbah terang-terangan menolak disebut panutan.
Jadi jelas, dia menyatakan diri cara berpikirnya bukan ”jalan umum”, bukan ”rute angkutan umum”. Dia berharap setiap orang mampu menentukan sikap untuk keselamatannya sendiri dan tak ingin siapa pun hanya mengekor tindakannya. Hal ini karena setiap orang bertanggung jawab terhadap keselamatan dirinya sendiri. ”Kalau sudah merasa harus mengungsi, mengungsi saja. Jangan mengikuti orang bodoh yang tak pernah sekolah seperti saya ini,” katanya.
Baginya, Merapi adalah rumah yang harus diterima, dalam kondisi baik ataupun buruk. ”Kalau turun, nanti diomongin banyak orang. Hanya senang enaknya, tapi tak mau terima buruknya. Bagus atau buruk, ya ini rumah sendiri,” katanya.