Sejak abad ketiga, pelaut Cina telah berlayar ke Indonesia untuk melakukan perdagangan. Rute pelayaran menyusuri pantai Asia Timur dan pulangnya melalui Kalimantan Barat dan Filipina dengan mempergunakan angin musim.
Pada abad ketujuh, hubungan Tiongkok dengan Kalimantan Barat sudah sering terjadi, tetapi belum menetap. Imigran dari Cina kemudian masuk ke Kerajaan Sambas dan Mempawah dan terorganisir dalam kongsi sosial politik yang berpusat di Monterado dan Bodok dalam Kerajaan Sambas dan Mandor dalam Kerajaan Mempawah.
Pasukan Khubilai Khan di bawah pimpinan Ike Meso, Shih Pi dan Khau Sing dalam perjalanannya untuk menghukum Kertanegara, singgah di kepulauan Karimata yang terletak berhadapan dengan Kerajaan Tanjungpura. Karena kekalahan pasukan ini dari angkatan perang Jawa dan takut mendapat hukuman dari Khubilai Khan, kemungkinan besar beberapa dari mereka melarikan diri dan menetap di Kalimantan Barat.
Pada tahun 1407, di Sambas didirikan Muslim/Hanafi - Chinese Community. Tahun 1463 laksamana Cheng Ho, seorang Hui dari Yunan, atas perintah Kaisar Cheng Tsu alias Jung Lo (kaisar keempat dinasti Ming) selama tujuh kali memimpin ekspedisi pelayaran ke Nan Yang. Beberapa anak buahnya ada yang kemudian menetap di Kalimantan Barat dan membaur dengan penduduk setempat. Mereka juga membawa ajaran Islam yang mereka anut.
Di zaman dinasti Ming, antara abad ke-14 dan ke-17, sejarah Tiongkok mencatat pemberontakan orang-orang gunung yang disebut-sebut bertampang dan berdialek kasar, lagi keras kepala.Mereka memberontak terhadap kaisar. Kalah. Lalu menghindari penangkapan oleh kaki tangan kerajaan, mereka mengungsi.
Jung demi jung dilayarkan meninggalkan Cina, dan merapat di Pha-la. Itulah nama Brunei menurut lidah Cina kala itu, daerah yang pernah harus selalu membayar upeti ke Tiongkok. Sebagaimana imigran di mana pun, orang-orang dari utara itu pun siap bertarung dengan kehidupan baru. Antara lain, mereka segera menjadi pekerja tambang yang ulet. Tak satu dua jung, tak satu dua hari para imigran berdatangan. Tapi mereka makin banyak mengalir ke Brunei karena kemelut di Daratan Cina tak segera reda. Orang-orang itu ter~utama berasal dari Fu Kien dan Kwang Tung, daerah yang keras menentang kaisar.
Adalah Panembahan Mempawah, salah seorang penguasa di sebagian kawasan yang sekarang disebut Kalimantan Barat, tertarik pada orang-orang sipit yang ulet bekerja itu. Panembahan lalu mendatangkan 20 orang Cina dari Brunei untuk menambang emas di Sungai Duri (90 km dari Pontianak), di wilayah kekuasaannya. "Impor tenaga kerja" yang dilakukan Panembahan pada 1750 itu ternyata sukses.
Segera tambang emas Sungai Duri jadi kesohor, dan segera kawasan Kalimantan Barat menjadi tujuan imigran Cina. Pha-la lalu hanya jadi batu loncatan. Mereka masuk lebih ke selatan, ke wilayah Kalimantan Barat sekarang: Ngabang, Landak, Mempawah, dan Mandor. Mereka mencari emas. Tak diceritakan adakah demam emas kala itu seseru demam emas di Benua Amerika di zaman Wild West. Yang terang, di Laut Cina Selatan dikabarkan makin sering terlihat perahu jung melaju dari utara menuju Brunei. Para penumpangnya lalu melanjutkan perjalanan darat lebih ke selatan.
Inilah yang diduga oleh para ahli sejarah menjadi pangkal awalnya Kalimantan Barat menyimpan lebih banyak warga keturunan Cina dibandingkan dengan wilayah mana pun di Indonesia. Dari sekitar 2,5 juta warga provinsi tersebut, kini sekitar 30%, adalah keturunan Cina. Sebab, kemudian tak hanya Mempawah dan tak cuma "imigran spontan" yang menyebabkan Cina berdatangan.
Sultan Kerajaan Sambas, penguasa wilayah lain di Kalimantan Barat, meniru tetangganya mendatangkan imigran Cina dari Brunei, sepuluh tahun kemudian. Umar Ahmadin, Sultan Sambas itu, menawarkan kepada imigran-imigran yang siap kerja keras ini membuka tambang emas di Montrado, Pemangkat, Bengkayang, dan Lumar. "Menawarkan" memang lebih tepat daripada "mengimpor tenaga kerja". Sebab, orang-orang Cina itu tak lalu disuruh bekerja dan mendapat bayaran dari Sultan. Justru mereka yang mesti membagi perolehan mereka kepada Sultan. Karena mereka tak cuma memiliki tenaga kerja, tapi juga keterampilan - sebut saja teknologi - penambangan emasnya.
Karena itu, berdirilah kongsi-kongsi Cina yang bergerak di bidang pertambangan emas. Kesultanan lalu memungut cukai. Dalam buku Report of the Mining Industry in Bomeo and Its Economic Prospect (1939) karya Dr. C.P.A. Zijlmans van Emmichoven diceritakan, dari kongsi Cina di Bengkayang dan Montrado saja Sultan Sambas mengutip cukai 27 kg emas tiap tahun. Sedangkan dalam catatan Raffles tahun 1812, bisnis emas di kawasan barat Bomeo itu mencapai œ 11 juta setahunnya.
Dan ketika muncul pertikaian antara Sambas dan Mempawah, para imigran itu pun mengail di air keruh. Mereka berserikat, membentuk semacam republik kecil, lalu mempersenjatai diri menyusun kekuatan. Lahirlah "distrik pecinan", tulis Zijlmans, yang "sudah mengatur dirinya sendiri tanpa campur tangan~ baik Panembahan Mempawah maupun Sultan Sambas."
Di abad ke-17 hijrah bangsa Cina ke Kalimantan Barat menempuh dua rute yakni melalui Indocina - Malaya - Kalimantan Barat dan Borneo Utara - Kalimantan Barat. Tahun 1745, orang Cina didatangkan besar-besaran untuk kepentingan perkongsian, karena Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah menggunakan tenaga-tenaga orang Cina sebagai wajib rodi dipekerjakan di tambang-tambang emas. Kedatangan mereka di Monterado membentuk kongsi Taikong (Parit Besar) dan Samto Kiaw (Tiga Jembatan).
Tahun 1770, orang-orang Cina perkongsian yang berpusat di Monterado dan Bodok berperang dengan suku Dayak yang menewaskan kepala suku Dayak di kedua daerah itu. Sultan Sambas kemudian menetapkan orang-orang Cina di kedua daerah tersebut hanya tunduk kepada Sultan dan wajib membayar upeti setiap bulan, bukan setiap tahun seperti sebelumnya. Tetapi mereka diberi kekuasaan mengatur pemerintahan, pengadilan, keamanan dan sebagainya. Semenjak itu timbullah Republik Kecil yang berpusat di Monterado dan orang Dayak pindah ke daerah yang aman dari orang Cina.
Sementara itu, ada pula yang mencoba cari muka. Seorang bernama Lo Fong Fa menjilat Sultan Sambas dengan turut memadamkan pemberontakan Dayak. Imbalannya, di tahun 1770 ia diizinkan membikin Kongsi Lan Fong. Tapi sejak awal tampaknya Lan Fong memang punya tujuan di balik bantuan. Kongsinya tak cuma mencari emas, juga menghimpun tenaga dan mengasah senjata.
Enam tahun kemudian, ketika merasa diri sudah kuat dan senjata telah tajam, ia menolak membayar cukai kepada Sultan Sambas. Maka, kembali pecah pertempuran. Ganti kini orang Dayak, yang pemberontakan mereka dulu dibasmi oleh Cina pendatang itu, membantu Sultan. Sultan menang. Lalu ia menetapkan cukai mesti dibayar sekali sebulan, bukan sekali setahun lagi. Namun, pihak Kongsi memperoleh kekuasaan lebih: tak cuma menguasai wilayah tambang, tapi juga berikut orang-orang Dayak yang ada di kawasan itu. Ini berarti Sultan mengkhianati sekutunya.
Di abad ke-17 hijrah bangsa Cina ke Kalimantan Barat menempuh dua rute yakni melalui Indocina - Malaya - Kalimantan Barat dan Borneo Utara - Kalimantan Barat. Tahun 1745, orang Cina didatangkan besar-besaran untuk kepentingan perkongsian, karena Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah menggunakan tenaga-tenaga orang Cina sebagai wajib rodi dipekerjakan di tambang-tambang emas. Kedatangan mereka di Monterado membentuk kongsi Taikong (Parit Besar) dan Samto Kiaw (Tiga Jembatan).
Tahun 1770, orang-orang Cina perkongsian yang berpusat di Monterado dan Bodok berperang dengan suku Dayak yang menewaskan kepala suku Dayak di kedua daerah itu. Sultan Sambas kemudian menetapkan orang-orang Cina di kedua daerah tersebut hanya tunduk kepada Sultan dan wajib membayar upeti setiap bulan, bukan setiap tahun seperti sebelumnya. Tetapi mereka diberi kekuasaan mengatur pemerintahan, pengadilan, keamanan dan sebagainya. Semenjak itu timbullah Republik Kecil yang berpusat di Monterado dan orang Dayak pindah ke daerah yang aman dari orang Cina.
Pada Oktober 1771 kota Pontianak berdiri. Tahun 1772 datang seorang bernama Lo Fong (Pak) dari kampung Shak Shan Po, Kunyichu, Kanton membawa 100 keluarganya mendarat di Siantan, Pontianak Utara. Sebelumnya di Pontianak sudah ada kongsi Tszu Sjin dari suku Tio Ciu yang memandang Lo Fong sebagai orang penting. Mandor dan sekitarnya juga telah didiami suku Tio Ciu, terutama dari Tioyo dan Kityo. Daerah Mimbong didiami pekerja dari Kun-tsu dan Tai-pu. Seorang bernama Liu Kon Siong yang tinggal dengan lebih dari lima ratus keluarganya mengangkat dirinya sebagai Tai-Ko di sana. Di San Sim (Tengah-tengah Pegunungan) berdiam pekerja dari daerah Thai-Phu dan berada di bawah kekuasaan Tong A Tsoi sebagai Tai-Ko.
Lo Fong kemudian pindah ke Mandor dan membangun rumah untuk rakyat, majelis umum (Thong) serta pasar. Namun ia merasa tersaingi oleh Mao Yien yang memiliki pasar 220 pintu, terdiri dari 200 pintu pasar lama yang didiami masyarakat Tio Tjiu, Kti-Yo, Hai Fung dan Liuk Fung dengan Tai-Ko Ung Kui Peh dan 20 pintu pasar baru yang didiami masyarakat asal Kia Yin Tju dengan Tai-Ko Kong Mew Pak. Mao Yien juga mendirikan benteng Lan Fo (Anggrek Persatuan) dan mengangkat 4 pembantu dengan nama Lo-Man.
Lo Fong kemudian mengutus Liu Thoi Ni untuk membawa surat rahasia kepada Ung Kui Peh dan Kong Mew Pak, sehingga mereka terpaksa menyerah dan menggabungkan diri di bawah kekuasaan Lo Fong tanpa pertumpahan darah. Lo Fong kemudian juga merebut kekuasaan Tai-Ko Liu Kon Siong di daerah Min Bong (Benuang) sampai ke San King (Air Mati).
Maka, orang-orang Dayak kian tersisih, bergerak ke pedalaman. Kala itu setidaknya ada delapan kongsi tersebar dari Sambas hingga Pontianak, dan semuanya saja tumbuh kuat. Lan Fong, misalnya, beranggotakan 110 ribu orang. Ketika masing-masing merasa lebih kuat daripada yang lain nafsu invasi tak tertahan lagi. Kongsi Sin Ta Kiu di Sambas bertempur dengan Kongsi Tai Kong yang bermarkas di Montrado, memperebutkan tambang kaya di Sungai Raya, Singkawang. Setahun bertempur, Sin Ta Kiu kalah. Lalu, sekali lagi, terjadilah politik ambil muka. Sin Ta Kiu menemui Sultan Sambas, mengajak bersekutu menggempur Tai Kong. Imbalannya, ia berjanji akan "setia dan tak akan mendurhakai sultan dan rakyat Sambas." Sultan termakan bujukan beracun ini. Tengku Sambo, bekas panglima Siak, Sumatera, yang menyerah, ditugasi menyerbu Montrado, markas besar Tai Kong, bersama Sin Ta Kiu. Lewat pertempuran sengit, Montrado jatuh. Tapi kemenangan ini mahal harganya: Tengku Sambo gugur, tepat pada saat pertempuran terakhir. Kepalanya dipenggal, dan tengkoraknya disimpan oleh para pewaris Tai Kong.
Mudah ditebak, Sin Ta Kiu lalu menjilat ludahnya sendiri. Ia menentang Sultan sambil merangkul bekas musuhnya, Tai Kong dan Mang Ki Tiu. Perang besar pun tak terelakkan. Sultan Tsafioeddin, Sultan Sambas kala itu, menggempur seluruh tambang emas. Pasukan Kerajaan bergerak beringsut ke Pemangkat, Seminis, Sebawi, Bengkayang, Larah, Lumar, Montrado, hingga Buduk. Celaka, satu per satu kongsi itu lemah, tapi tiga menjadi satu tampaknya bukan tandingan tentara Sultan.
Lo Fong kemudian menguasai pertambangan emas Liu Kon Siong dan pertambangan perak Pangeran Sita dari Ngabang. Kekuasaan Lo Fong meliputi kerajaan Mempawah, Pontianak dan Landak dan disatukan pada tahun 1777 dengan nama Republik Lan Fong.
Tahun 1795 Lo Fong meninggal dunia dan dimakamkan di Sak Dja Mandor. Republik yang setiap tahun mengirim upeti kepada Kaisar Tiongkok ini pun bubar. Oleh orang Cina Mandor disebut Toeng Ban Lit (daerah timur dengan 1000 undang-undang .
Tahun 1795, berkobar pertempuran antara kongsi Tai-Kong yang berpusat di Monterado dengan kongsi Sam Tiu Kiu yang berpusat di Sambas karena pihak Sam Tiu Kiu melakukan penggalian emas di Sungai Raya Singkawang, daerah kekuasaan Tai-Kong. Tahun 1796, dengan bantuan kerajaan Sambas, kongsi Sam Tiu Kiu berhasil menguasai Monterado. Namun seorang panglima sultan bernama Tengku Sambo mati terbunuh ketika menyerbu benteng terakhir kongsi Tai Kong. Perang ini oleh rakyat Sambas disebut juga Perang Tengku Sambo.
Pada 6 September 1818 Belanda masuk ke Kerajaan Sambas. Tanggal 23 September Muller dilantik sebagai Pejabat Residen Sambas dan esoknya mengumumkan Monterado di bawah kekuasaan pemerintahan Belanda. Pada 28 November diadakan pula pertemuan dengan kepala-kepala kongsi dan orang-orang Cina di Sambas.
Tahun 1819, masyarakat Cina di Sambas dan Mandor memberontak dan tidak mengakui pemerintahan Belanda. Seribu orang dari Mandor menyerang kongsi Belanda di Pontianak.
Pada 22 September 1822 diumumkan hasil perundingan segitiga antara Sultan Pontianak, pemerintahan Belanda dan kepala-kepala kongsi Cina.
Namun pada 1823, setelah berhasil menguasai daerah Lara, Sin Ta Kiu (Sam Tiu Kiu), Sambas, kongsi Tai Kong mengadakan pemberontakan terhadap belanda karena merasa hasil perundingan merugikan pihaknya. Dengan bantuan Sam Tiu Kiu dan orang-orang Cina di Sambas, kongsi Tai Kong kemudian dipukul mundur ke Monterado.
Setelah gagal pada serangan kedua tanggal 28 Februari 1823, pada 5 Maret penduduk Cina yang memberontak menyatakan menyerah dan kemudian 11 Mei komisaris Belanda mengeluarkan peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban kongsi-kongsi. Pemberontak yang menguasai tambang emas tentu saja punya uang, maka bisa membayar pasukan dan membeli senjata. Tentara Tsafioeddin di bawah angin. Daerah demi daerah kekuasaan Sambas direbut. Tercatatlah cerita klise dari zaman kolonial: Sultan Sambas lalu mengirim surat kepada Belanda, minta bantuan. Ketika Sambas telah terkepung, dan tinggal -- soal waktu saja jatuh ke tangan komplotan itu, ketika itulah pasukan Belanda, di bawah komando Overste Zorg, datang. Segera, pada 1851 itu, Zorg menyerbu markas Sin Ta Kiu.
Tahun 1850, kerajaan Sambas yang dipimpin Sultan Abubakar Tadjudin II hampir jatuh ke tangan perkongsian gabungan Tai Kong, Sam Tiu Kiu dan Mang Kit Tiu. Kerajaan Sambas meminta bantuan kepada Belanda. Tahun 1851, kompeni Belanda tiba dipimpin Overste Zorg yang kemudian gugur ketika perebutan benteng pusat pertahanan Sam Tiu Kiu di Seminis Pemangkat. Ia dimakamkan di bukit Penibungan, Pemangkat.
Tahun 1854 pemberontakan kian meluas dan didukung bangsa Cina yang di luar perkongsian. Belanda kemudian mengirimkan pasukan tambahan ke Sambas yang dipimpin Residen Anderson. Akhirnya pada 1856 Republik Monterado yang telah berdiri selama 100 tahun berhasil dikalahkan. Tanggal 4 Januari 1857 Belanda mengambil alih kekuasaan Cina di kerajaan Mempawah, dan tahun 1884 seluruh perkongsian Cina di Kalimantan Barat dibubarkan oleh Belanda.
Tahun 1914, bertepatan dengan Perang Dunia I, terjadi pemberontakan Sam Tiam (tiga mata, tiga kode, tiga cara). Pemberontakan di Monterado dipimpin oleh bekas keluarga Republik Monterado, sedangkan pemberontakan di Mempawah dipimpin oleh bekas keluarga Republik Lan Fong. Mereka juga dibantu oleh masyarakat Melayu dan Dayak yang dipaksa untuk ikut. Pemberontakan berakhir tahun 1916 dengan kemenangan di pihak Belanda. Belanda kemudian mendirikan tugu peringatan di Mandor bagi prajurit-prajuritnya yang gugur selama dua kali pemberontakan Cina (tahun 1854-1856 dan 1914-1916). Perang 1914-1916 dinamakan Perang Kenceng oleh masyarakat Kalimantan Barat.
Tahun 1921-1929 karena di Tiongkok (Cina) terjadi perang saudara, imigrasi besar-besaran orang Cina kembali terjadi dengan daerah tujuan Semenanjung Malaya, Serawak dan Kalimantan Barat.
Di luar dugaan Zorg agaknya, ternyata kekuatan musuh sudah demikian besar Zorg tewas di benteng musuh. Dan pemberontakan semakin berkobar. Orang-orang Cina di luar komplotan tiga Kongsi itu ikut mengangkat senjata. Kompeni mendatangkan pasukan tambahan yang dikomando oleh Andersen: Akhirnya pemberontak dipadamkan setelah 5 tahun pertempuran. Para imigran Cina tetap boleh menambang emas, namun harus tetap menaati kesepakatan lama soal cukai itu. Hanya saja, cukai tak lagi dibayarkan kepada Sultan, melainkan kepada Belanda.Pada 1884, hasil tambang susut drastis. Kongsi-kongsi Cina itu dibubarkan, karena tak lagi mendatangkan keuntungan. Para penambang, orang-orang Cina itu, lalu beralih kerja menjadi pedagang hasil bumi: kopra, pala, dan lada -- di Kalimantan Barat perdagangan hasil bumi itu hingga kini masih dikuasai kalangan mereka. Sebagian lainnya mengusahakan rumah bordil dan judi di kawasan kumuh. Lalu jadilah mereka, yang jadi pedagang maupun germo dan bandar, penduduk Kalimantan Barat. Sementara itu, emas, yang tak lagi sebanyak di abad ke-17 dan ke-18 itu, tetap saja jadi sumber konflik hingga kini. Bukan lagi antara imigran dan penguasa setempat, melainkan antara rakyat penambang tradisional dan perusahaan pemegang konsesi.
Dari berbagai sumber dengan bantuan mbah Google