Di usia 34 tahun, ia menuju Kalimantan Barat untuk ikut memburu emas (gold rush). Penguasa pada waktu itu, Sultan Panembahan, mendengar bahwa orang-orang dari Cina adalah pekerja-pekerja yang keras, maka ia mendatangkan 20 orang Tionghoa dari Brunei. Sultan Omar di Sambas juga mendengar tentang kerajinan orang Tionghoa dan menggunakan sistem penyewaan tanah untuk mendorong minat orang-orang Tionghoa berusaha di wilayahnya.
Awal tahun 1740 jumlah orang-orang Tionghoa di Kalimantan Barat hanya puluhan orang, dan tahun 1770 jumlah mereka telah mencapai sekitar 20.000 orang. Mereka yang merasa sedaerah atau sedarah kemudian mendirikan kongsi (perusahaan) untuk melindungi kepentingan dan diri mereka sendiri. Pada tahun 1776, empat belas kongsi bergabung bersama-sama membentuk Hesoon 14 kongsi untuk mendobrak kebuntuan yang diakibatkan oleh pengelompokkan yang berdasarkan daerah atau darah tersebut. Low Lan Pak kemudian mendirikan kongsinya sendiri. yaitu Lan Fang Kongsi dan berhasil menyatukan semua orang sukubangsa Hakka di daerah yang dinamakan San Shin Cing Fu (danau gunung berhati emas), dan mereka kemudian mendirikan kota Mem-Tau-Er sebagai markas besar dari kelompok usaha mereka.
Kemudian Low Lan Pak membangun administrasi sebagaimana layaknya suatu pemerintahan dengan menggunakan nama perusahaannya. Pada tahun 1777 Low Lan Pak menyatakan berdirinya Republik Lan Fang. Pada waktu itu para pendukungnya ingin mengangkat Low Lan Pak menjadi sultan, namun ia menolak dan memilih jabatan yang sekarang setara dengan jabatan presiden di suatu republik. Ibukotanya berada di Leh Wan Li. Jabatan Ta Tang Chon (presiden) dipilih melalui pemilihan. Presiden dan Wakil Presiden harus dipegang orang Hakka dari Ka Yin atau Ta Pu. Benderanya adalah bendera kuning empat persegi panjang dengan kata-kata Lan Fang Ta Tong Chi. Panji kepresidenan berbentuk segi tiga berwarna kuning dengan kata Chuao (Jenderal). Pejabat tingginya berpakaian Cina, sedangkan yang jabatannya lebih rendah mengenakan pakaian ala barat. Berdasarkan catatan perusahaan Lan Fang, setiap tahunnya mereka membayar upeti kepada Dinasti Ching di Cina.
LO FANG PAK mulai bertualang pada usia 34 tahun. Dia merantau ke Kalimantan Barat saat ramainya orang mencari emas (Gold Rush), dengan menyusuri Han Jiang menuju Shantao, sepanjang pesisir Vietnam, dan akhirnya berlabuh di Kalbar. Ketika itu Sultan Panembahan yang percaya bahwa orang Tionghoa adalah pekerja keras membawa 20 pekerja Tionghoa dari Brunei. Sultan Omar juga mendengar tentang ketekunan orang Tionghoa memanfaatkannya melalui sistem kontrak lahan kepada orang Tionghoa guna membuka kawasannya.
Ketika Lo Fang Pak sampai di Kalbar, Belanda belum secara agresif merambah ke Kalimantan. Di pesisir banyak didiami orang Jawa dan Bugis, yang mana daerah ini dikuasai oleh Sultan, dan bagian pedalaman didiami oleh orang Dayak, kendati batas teritorialnya tidak jelas.
Pada permulaan tahun 1740, jumlah orang Tionghoa hanya beberapa puluh saja di sana. Pada tahun 1770 orang Tionghoa sudah mencapai 20.000 orang. Mereka berdatangan berdasarkan pertalian saudara, sekampung halaman, atau sesama kumpulan. Kelompok Tionghoa ini membentuk Kongsi (perusahaan) untuk melindungi mereka. Lo Fang Pak diangkat menjadi ketua.
Pada tahun 1776, 14 Kongsi disatukan membentuk He Soon 14 Kongsi guna menjaga kesatuan dari ancaman persengketaan antar kumpulan, daerah asal, dan darah. Pada saat itu Lo Fang Pak mendirikan Lan Fang Kongsi, kemudian menyatukan semua orang golongan Hakka di daerah yang dinamakan San Shin Cing Fu (danau gunung berhati emas), dan mendirikan kota Mem-Tau-Er sebagai markas besar dari group perusahaannya.
Pada masa itu Khun Tian (Pontianak) yang berlokasi di hilir Sungai Kapuas, merupakan daerah perdagangan yang penting dan dikuasai oleh Sultan Abdulrahman. Daerah hulu sungai dikuasai oleh orang Dayak. Usaha Sultan Mempawah yang bertetangga dengan Pontianak untuk membangun sebuah istana di hulu sungai menyebabkan pertikaian antara kedua sultan ini. Terjadilah perang antara kedua negeri itu. Sultan Abdulrahman meminta bantuan Lo Fong Pak. Karena istana tersebut dibangun dekat wilayah Lan Fong Kongsi, Lo Fong Pak akhirnya memutuskan untuk membantu Sultan Pontianak dan berhasil mengalahkan Mempawah. Sultan Mempawah yang dikalahkan bergabung dengan orang Dayak dan melakukan serangan balasan. Sekali lagi Lo Fong Pak berhasil mengalahkan Sultan Mempawah, sehingga mengungsi ke arah utara, yaitu Singkawang, dimana ia dan Sultan Singkawang (Sambas) menandatangani perjanjian damai dengan Lo Fong Pak. Peristiwa itu secara dramatis melambungkan popularitas Lo Fong Pak. Ketika itu dia berusia 57.
Sejak saat itu, orang-orang Tionghoa dan penduduk setempat mencari perlindungan kepada Lo Fong Pak. Kekuatan dan prestise Lo Fong Pak semakin meningkat. Ketika Sultan Pontianak menyadari tidak mampu melawan Lo Fong Pak, ia sendiri meminta perlindungan dari Lo Fong Pak. Lalu Lo Fong Pak mendirikan sebuah pemerintahan dengan menggunakan nama kongsinya, sehingga nama kongsinya menjadi nama republik, Republik Lan Fong, yang jika dihitung sejak tahun berdirinya, 1777, berarti sepuluh tahun lebih awal dari pembentukan negara Amerika Serikat (USA) oleh George Washington tahun 1787.
Ketika itu masyarakat ingin Lo Fong Pak menjadi Sultan, namun ia menolak dan memilih kepemerintahan seperti sistem kepresidenan. Lo Fong Pak terpilih melalui pemilihan umum untuk menjabat sebagai presiden pertama, dan diberi gelar dalam bahasa Mandarin “Ta Tang Chung Chang” atau Presiden. Konstitusi negeri itu menyebutkan bahwa posisi Presiden dan Wakil Presiden Republik tersebut harus dijabat oleh orang yang berbahasa Hakka.
Ibukota Republik Hakka ini adalah Tung Ban Lut (Mandor). “Ta Tang Chung Chang” (Presiden) dipilih melalui pemilihan umum. Menurut konstitusinya, baik Presiden maupun Wakil Presiden harus merupakan orang Hakka yang berasal dari daerah Ka Yin Chiu atau Thai Pu. Benderanya berbentuk persegi empat berwarna kuning, dengan tulisan dalam bahasa Mandarin “Lan Fang Ta Tong Chi”. Bendera presidennya berwarna kuning berbentuk segitiga dengan tulisan ‘Chuao’ (Jenderal). Para pejabat tingginya memakai pakaian tradisional bergaya China, sementara pejabat yang lebih rendah memakai pakaian gaya barat. Republik tersebut mencapai keberhasilan besar dalam ekonomi dan stabilitas politik selama 19 tahun pemerintahan Lo Fong Pak.
Dalam tarikh negara samudera dari Dinasti Qing tercatat adanya sebuah tempat dimana orang Ka Yin (dari daerah Mei Hsien) bekerja sebagai penambang, membangun jalan, mendirikan negaranya sendiri, setiap tahun kapalnya mendarat di daerah Zhou dan Chao Zhou (Teochiu) untuk berdagang. Sementara dalam catatan sejarah Lan Fong Kongsi sendiri terungkap bahwa setiap tahun mereka membayar upeti kepada Dinasti Qing seperti Annan (Vietnam).
Low Lan Pak dalam masa pemerintahannya telah menjalankan system perpajakan, dan Republik Lan Fang juga mempunyai kitab undang undang hukum, menyelenggarakan system pertanian dan pertambangan yang terarah, membangun jaringan transportasi, dan mengusahakan ketahan ekonomi berdikari, lengkap dengan perbankannya. Sistem pendidikan tetap diperhatikan bahkan semakin dikembangkan, karena Low Lan Pak sendiri asalnya memang seorang guru.
Pada waktu itu Pontianak yang terletak di muara Sungai Kapuas adalah sebuah daerah perdagangan yang penting dan diperintah oleh Sultan Abdulrachman. Sedangkan bagian hulu dari Sungai Kapuas dikuasai oleh orang Dayak. Kesultanan yang berbatasan dengan Kun Tien adalah Mempawah. Sultan Pontianakmencoba membangun istana agak ke hulu sungai yang dekat dengan perbatasan Kesultanan Mempawah dan hal ini memicu perang antara kedua kesultanan.
Pada perang ini (1794) Sultan Kun Tien dibantu oleh Lan Fang Kongsi karena kedekatan diantara mereka. Sultan Mempawah kalah dalam pertempuran tersebut, dan kemudian bergabung dengan Dayak untuk melakukan serangan balasan. Namun Low Lan Pak kembali mematahkan kekuatan Sultan Mempawah, dan bahkan kali ini Sultan Mempawah didesak terus ke utara sampai Singkawang. Pertempuran ini berakhir dengan perjanjian perdamaian antara Sultan Singkawang dan Sultan Mempawah dengan Low Lan Pak.
Setelah kemenangan ini popularitas Low Lan Pak melesat dramatis, ketika itu ia berusia 57 tahun. Rakyat, dan orang Tionghoa di daerah itu mencari perlindungan pada Lo Fang Pak, dan bahkan Sultan Kun Tien menyadari bahwa dia tidak sanggup melawan kekuatan militer Low Lan Pak, sehingga Sultan sendiri bernaung di bawah perlindungan Low Lan Pak. Presiden Low Lan Pak wafat pada tahun 1795, setelah tinggal di Kalimantan selama lebih dari 20 tahun.
Semasa presiden ke lima Liew Tai Er, Belanda memulai ekspansinya ke Kalimantan dan kemudian menduduki daerah Kalimantan Tenggara. Lan Fang kehilangan otonominya dan menjadi sebuah negara yang dilindungi Belanda. Kemudian Belanda membuka sebuah kantor kolonial di Kun Tien dan menjadi perantara untuk urusan-urusan republik. Pada tahun 1884 Singkawang menolak diperintah oleh Belanda dan akibatnya mereka diserang oleh tentara Belanda. Setelah bertempur selama 4 tahun pasukan yang dibiayai oleh Kongsi Lan Fang akhirnya kalah, dan orang-orang Tionghoa kemudian lari ke Sumatera. Belanda kemudian menguasai Kongsi Lan Fang.
Lo Fong Pak meninggal pada tahun 1795, tahun kedua dideklarasikannya republik tersebut (1793). Ia telah hidup di Kalimantan lebih dari 20 tahun. Pada usia ke 47 berdirinya republik tersebut, yaitu pada masa pemerintahan presiden kelima, Liu Tai Er (Hakka: Liu Thoi Nyi), Belanda mulai aktif melakukan ekspansi di Indonesia dan menduduki wilayah tenggara Kalimantan. Liu Tai Er terbujuk oleh Belanda di Batavia (kini Jakarta) untuk menandatangani suatu pakta non-agresi timbal-balik. Penandatanganan pakta tersebut praktis berarti menyerahkan rezim Lan Fong ke dalam kekuasaan Belanda. Munculnya pemberontakan penduduk asli semakin melemahkan pemerintahan Lan Fong. Lan Fong kehilangan otonomi dan menjadi sebuah daerah protektorat Belanda. Belanda membuka perwakilan kolonialnya di Pontianak dan mencampuri urusan republik tersebut. Pada tahun 1884 Singkawang menolak diperintah oleh Belanda, sehingga diserang oleh Belanda. Belanda berhasil menduduki Lan Fong Kongsi, namun kongsi tersebut mengadakan perlawanan selama 4 tahun, tetapi akhirnya dikalahkan, menyusul kematian Liu Asheng (Hakka: Liu A Sin), presidennya yang terakhir. Warganya mengungsi ke Sumatera. Karena takut mendapat reaksi keras dari pemerintahan Qing, Belanda tidak pernah mendeklarasikan Lan Fong sebagai koloninya dan memperbolehkan seorang keturunan mereka menjadi pemimpin.
Riwayat Kepemimpinan Lan Fang Republic :
1. Lo Fongpak 1777-1795 Pendirian Langfong Kungsi di Mandor pada tahun 1777.
2. Kong Meupak 1795-1799 Perang dengan Panembahan Mempawah.
3. Jak Sipak 1799-1803 Konflik dengan orang Dayak dari Landak.
4. Kong Meupak 1803-1811
5. Sung Chiappak 1811-1823 Ekspansi tambang di Landak.
6. Liu Thoinyi 1823-1837 Sudah di bawah pengaruh kolonial Belanda.
7. Ku Liukpak 1837-1842 Konflik dengan Panembahan Landak dan kemerosotan kongsi.
8. Chia Kuifong 1842-1843
9. Yap Thinfui 1843-1845
10. Liu Konsin 1845-1848 Pertempuran dengan orang Dayak Landak.
11. Liu Asin 1848-1876 Ekspansi tambang ke kawasan Landak.
12. Liu Liongkon 1876-1880
13. Liu Asin 1880-1884 Kejatuhan Lanfong Kungsi pada tahun 1884.
Karena takut terhadap reaksi keras dari pemerintah Ching di Cina, Belanda tidak mau menyatakan bahwa mereka telah menduduki Lan Fang dan bahkan masih mengizinkan salah satu ahli warisnya menjadi tokoh setempat. Hal itu berlangsung sampai tahun 1912 sampai terbentuk Republik Cina di bawah Dr. Sun Yatsen. Baru setelah itu Belanda berani secara resmi menyatakan kekuasaan pemerintahannya di Kalimantan.
Mereka yang lari ke Sumatera berkumpul kembali di Medan, dan kemudian dari sana beberapa orang menyeberang ke Kuala Lumpur dan Singapura. Salah satu keturunan pelarian dari Kalimantan tersebut adalah Lee Kuan Yew, yang kemudian menjadi Perdana Menteri di Singapura. Orang Hakka yang mendirikan perusahaan Lan Fang kedua di Singapura adalah kelompok minoritas, namun mereka memainkan peran penting di Singapura.
Selain Lee Kuan Yew, orang-orang Hakka yang terkenal antara lain adalah Dr Sun Yatsen, pendiri Republik Cina, Mao Zedong, Deng Xiaoping, Ne Win (Diktator di Myanmar, dahulu Birma), Li Peng (mantan Perdana Menteri Cina) dan Lee Tenghui (mantan Presiden Taiwan). Ada suatu keunikan, ketika tiga orang keturunan Hakka menjadi pemimpin di tiga negara pada waktu yang bersamaan, yaitu Deng Xiaoping berkuasa di RRC, Lee Tenghui menjadi Presiden Taiwan dan Lee Kuan Yew menjadi Perdana Menteri di Singapura.