Monarki di DIY Cuma Simbol, yang Menerapkan Justru Politisi
Anwar Khumaini - detikNews
Jakarta - Para politisi baik yang duduk di pemerintahan pusat atau pun daerah adalah kelompok yang menerapkan monarki. Mereka justru melanggengkan kekuasaan hanya untuk keluarga dan orang-orang terdekat. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) justru cuma menerapkan monarki secara simbol saja.
"Monarki di Yogya, sifatnya simbolis. Justru para politisi, gubernur, bupati/walikota yang menerapkan monarki yang justru berbahaya," kata sejarawan Asvi Warman Adam kepada detikcom, Selasa (30/11/2010).
Asvi menilai pendapat Presiden soal DIY tidak tepat, apalagi diucapkan saat warga Yogyakarta masih dalam suasana duka akibat letusan Gunung Merapi.
Penekanan pidato SBY soal RUU Keistimewaan DIY ini juga dianggap Asvi kurang tepat. SBY mengatakan sistem monarki tidak cocok dengan sistem demokrasi. Padahal, lanjut Asvi, sistem monarki ada di Inggris, Belanda, bahkan negeri jiran Malaysia juga ada sultan.
"Tapi toh pemerintahannya parlementer. Yang penting ada pemisahan kekuasaan dan anggaran," kata Asvi.
Agar kontroversi ini tidak berlarut-larut, menurut Asvi, Presiden SBY hendaknya segera merampungkan draf RUU Keistimewaan DIY itu, untuk selanjutnya diserahkan ke DPR. Kenapa selama ini RUU tersebut terkatung-katung sejak diusulkan pada 2002? Menurut Asvi karena pemerintah terlalu menyepelekannya.
"Hambatannya karena pemerintah menganggap enteng. Beda dengan Aceh, Papua, mereka melakukan perlawanan secara fisik. Padahal menurut hemat saya di Yogyakarta perlawanan permikiran justru lebih dahsyat," tutupnya.
RUU Keistimewaan DIY pertama kali diusulkan pada 2002 dan hingga kini belum juga diserahkan kepada DPR. Substansi kontroversial yang menyebabkan RUU ini tak juga beringsut adalah tentang kemimpinan DIY apakah dipilih langsung atau ditetapkan.
Presiden SBY memerintahkan RUU itu intens digodok. Dia menyebutkan,"Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi."
Statemen ini dimaknai bahwa SBY ingin Gubernur DIY dipilih lewat pilkada. Statemen itu juga disebut melukai perasaan warga Yogya.
http://www.detiknews.com/read/2010/11/30/104929/1505480/10/monarki-di-diy-cuma-simbol-yang-menerapkan-justru-politisi?n991103605
RUU JOGJAKARTA
Tidak Bertarung Lagi, SBY Tak Merasa Tersaingi Sultan
Selasa, 30 November 2010 , 08:46:00 WIB
Namun Ketua DPP Partai Demokrat, Sutan Bhatoegana, membantah hal tersebut. Menurutnya, SBY tidak akan menyaingi dan merasa tersaingi oleh Sultan.
"SBY menyatakan pernyataan itu sebagai wacana untuk ditindaklanjuti oleh Kemendageri lalu diajukan ke DPR. Bukan sesuatu yang final. Semacam pengantar rapat, cuma barang ini diolah oleh sebagian orang sehingga muncul kesan bahwa SBY mau menghancurkan kerajaan Jogja. Buat apa juga SBY berhadapan dengan Sultan, toh 2014 tidak bisa fight lagi karena taat undang-undang," kata Sutan, kepada Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Selasa, 30/11).
Sutan juga menjelaskan bahwa konteks monarki yang dibicarakan SBY berkaitan dengan sistem pemerintahan nasional dan tidak berhubungan dengan sistem yang ada di Yogyakarta.
"Kita bicara sistem nasional kok, bukan Yogya. Kenapa mesti ada yang tersinggung," kata Sutan mempetanyakan. [yan]
http://www.jpnn.com/read/2010/11/29/78308/Keistimewaan-Jogja-Bukan-Bentuk-Monarki-
http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=10771
Yogyakarta - Berbagai elemen di Provinsi DI Yogyakarta mengecam pernyataan Presiden SBY mengenai sistem monarki dalam pemerintahan di DIY. Pernyataan Presiden tersebut dianggap tidak memahami sejarah adanya DIY sebagai daerah istimewa dan keistimewaan DIY sendiri.
"Tidak ada monarki di Provinsi DIY, Presiden tidak paham dan tidak mengakui mengenai sejarah keistimewaan DIY," ungkap Ketua Paguyuban Dukuh se-DIY, Sukiman, kepada detikcom, Selasa (30/11/2010).
Menurut dia, dalam waktu dekat ini pihaknya akan menggelar semacam kongres/sidang rakyat Yogyakarta untuk mendudukkan kembali Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai gubernur dan wakil gubernur. Hal ini untuk menegaskan wilayah DIY itu dalam sejarahnya merupakan wilayah tersendiri yang saat Republik Indonesia berdiri menyatakan mendukung dan bergabung dengan NKRI.
"Ini yang ingin kami tegaskan kepada pemerintah. Tidak ada monarki di Yogyakarta. Yang berpikiran ada monarkhi itu kan orang-orang pemerintah," kata Sukiman.
Pihaknya juga menyatakan menolak bila di DIY akan dilakukan pemilihan (pilkada) seperti daerah lainnya. Kalau pemerintah akan melakukan hal itu, paguyuban akan menolak dengan cara tidak akan ikut terlibat dalam panitia pemilihan dan semacamnya.
"Tidak ada pemilihan, tapi penetapan gubernur dan wakil gubernur," katanya.
Secara terpisah Ketua Paguyuban Lurah/Kepala Desa se-DIY, Mulyadi, menegaskan pernyataan presiden telah melukai hari rakyat Yogyakarta dengan menyatakan ada sistem monarki di DIY yang bertabrakan dengan konstitusi dan nilai demokrasi.
Menurutnya pernyataan itu jelas menunjukkan pemerintah sengaja mengesampingkan sejarah DIY dan makna keistimewaan secara utuh. "Rakyat Yogyakarta sejak Republik ini berdiri tidak mengenal pemilihan. Jika pemerintah pusat memaksa, kami akan menolak dan boikot," kata Mulyadi.
Pada 26 November lalu, SBY menyatakan, "Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi."
SBY lalu menjelaskan Indonesia adalah negara hukum dan demokrasi, sehingga nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karenanya terkait penggodokan RUU Keistimewaan DIY, pemerintah akan memprosesnya bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendapatkan satu UU yang tepat.
Menurut anggota Komisi II DPR yang membahas soal pemerintahan, Ganjar Pranowo, menilai statemen SBY itu menandakan SBY menyukai Gubernur DIY lewat pemilihan langsung, bukan Sultan merangkap gubernur.
"Kalau itu sikapnya (SBY) begitu, pasti dia menghendaki gubernur dipilih langsung. Maka keistimewaan Yogya selama ini akan diakhiri oleh SBY," kata Ganjar.
http://www.detiknews.com/read/2010/11/30/100541/1505424/10/kecam-sby-soal-monarki-warga-yogya-akan-gelar-kongres-rakyat
Sungguh mengejutkan statemen SBY dalam rapat kabinet terbatas kemarin. Pernyataannya bahwa sistem yang akan dianut pemerintahan DIY tidak mungkin monarki, karena bertabrakan dengan konstitusi dan nilai demokrasi. Mengapa mengejutkan?
Pernyataan SBY menyusul segera disahkannya RUU Keistimewaan DIY jelas sangat menghentak bagi siapapun warganegara Indonesia yang paham sistem konstitusionalisme. Sebab, UUD 1945 (Pasl 18B) tegas-tegas mengamanatkan: “negara untuk mengakui dan menghormati satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan UU”. Statement itu tentu terasa aneh, lucu dan menggelikan, karena dapat membalikkan pertanyaan atas pemahaman dan pemaknaannya SBY terhadap konstitusi yang harus ditegakkannya?
Lebih dari itu, pernyataannya jelas mengandung sikap permusuhan terhadap kesakralan raja-raja mataram yang telah berlangsung turun temurun selama ratusan tahun. Tidak heran jika sebagian pengamat melihat pernyataan SBY itu lebih bertendensi politis daripada yuridis-konstitusional. Terutama rivalitasnya terkait deklarasi Sultan dalam pencapresan 2009 lalu. Atau bahkan aktivitas “politik” Sultan di Nasional Demokrat dengan Surya Paloh, yang sama-sama mengusung jargon demokrat dengan arati SBY.
Lebih dari itu, pernyataan SBY menimbulkan pula antitesis diametrik tajam antara demokrasi dengan monarki. Sehingga timbul kesan bahwa sistem demokrasi jauh lebih baik dari sistem monarki? Atau sebaliknya, sistem monarki jauh lebih buruk dari sistem demokrasi. Benarkah begitu?
Perdefinisi, Demokrasi secara sederhana bisa dipahami sebagai sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi juga adalah bentuk pemerintahan politik dimana kekuasaan pemerintahan berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan).
Di seberang lain, Monarki merupakan sistem pemerintahan yang pemilihan pemimpinnya, tidak melibatkan rakyat. Tetapi merujuk pada keturunan. Jelas, perbedaan utamanya pada mekanisme pemilihan pemimpin negara. Melibatkan rakyat versus tidak melibatkan rakyat.
Kenyataanya, sistem demokrasi yang dipuja dan diagungkan para pemimpin Indonesia dan secara manipulatif mereka anggap “berjalan dengan baik” berbuah pada berbagai kritik, keluhan dan gugatan tiada henti pada institusi hasil demokrasi. DPR, DPRD dan bahkan Presiden sekalipun dalam beberapa bulan terakhir menjadi bulan-bulanan masyarakat, terkait berbagai praktik korupsi, kolusi, penyalahgunaan wewenang dan atau ketidaktegasan sistem penegakan hukum. Tidak heran jika negara yang “demokratis” ini menempati posisi teratas sebagai negara terkorup di Asia Pasifik (survey Political and Economic Risk Consultancy 2009. Wajah bopeng demokrasi Indonesia bahkan semakin nampak jelas dengan munculnya sekretariat gabungan (setgab) yang menjadikan demokrasi kita menjadi aneh, demokrasi oligarkhi. Kekuasaan pemerintahan hanya berputar pada beberapa kelompok partai politik yang menimbulkan kegagalan pengungkapan kasus mafia hukum gayus secara tuntas. Ahh… demokrasi ternyata tak seindah warna aslinya.
Di seberang lain, monarki DIY justru menampakkan wujud sebagai sistem pemerintahan yang efisien dan transparan. Survei Transparency International Indonesia (TTI) tahun 2008 terhadap 50 kota Indonesia diperoleh hasil Yogyakarta sebagai kota terbersih dari praktik korupsi. Pada tahun 2010, meski posisinya tergeser oleh Denpasar, Yogyakarta masih menempati posisi ketiga bersama Manokwari.
Apakah SBY tidak belajar dari sejarah yang bahkan masih berlangsung. Bahwa praktik korupsi, kolusi dan nepotisme berpangkal dari proses pemilukada dan pilpres. Sangatlah masuk akal jika diasumsikan kebersihan Yogyakarta dari praktek korupsi bermula dari sistem monarki itu, yang dalam memilih pemimpinya tidak melibatkan uang sepeserpun.
Seharusnya SBY tidak sekedar menempatkan demokrasi vs monarki secara berlawanan. Pemaknaan diametrikal ini hanya pantas diwacanakan pada zaman abad pertengahan. Zaman kegelapan yang menempatkan demokrasi sebagai mantra keramat untuk menangkal absolutisme. Monarki telah berevolusi. Belanda, Inggris, Belgia dan Jepang (monarki konstitusional) atau Malaysia (monarki demokratis), terbukti lebih mampu mensejahterakan rakyat dan mengimpor TKI dari Indonesia. Semoga para pemimpin Indonesia tidak set back ke abad pertengahan dalam berfikir untuk mensejahterakan rakyat yang telah memilihnya.
http://politik.kompasiana.com/2010/11/28/demokrasi-vs-monarki-ala-sby/-12
Sebagai orang yang berasal dari Jogja, satu pertanyaan saya :
"Apa maksud dan tujuan SBY tentang semua ini ??????"