Kapal Belanda pertama yang berlabuh di Jayakarta adalah Hollandia pimpinan Cornelis de Houtman. Hal itu terjadi pada November 1596.
Dalam dokumen berbahasa Latin karya Th. de Bry (1601) yang kemudian diterjemahkan oleh Adolf Heuken, Jayakarta disebut Iacatra (Sumber-sumber asli sejarah Jakarta, Jilid II, 2000). Pamanukan dan Karawang juga disebut-sebut.
Dikatakan, Jayakarta merupakan daerah yang sangat subur akan segala macam makanan. Daerah ini dilalui sungai yang baik, dikelilingi tanggul sederhana, dan banyak penghuninya. Air sungai ini sangat cocok untuk menyegarkan para pelaut. Kita dapat menduga, ketika itu air Sungai Ciliwung sangat bersih.
Kapal Belanda itu bertujuan mencari rempah-rempah. Dari Ciliwung kapal menuju Sungai Tanara, yang terletak delapan mil ke arah timur dari Banten. Pada hari berikutnya seorang Etiopia, dari bangsa Gujerat bernama Abdul, naik ke kapal di Banten. Dia bertugas sebagai pemandu dan penerjemah karena fasih berbahasa Jawa, Melayu, dan Portugis. Dia ikut sampai ke Eropa dan menjadi penerjemah pada pelayaran yang kedua.
Bagian lain laporan tersebut mengatakan, dekat dengan pantai terdapat banyak pulau kecil. Di antara semua pulau, kapal dapat berlayar dengan agak aman. Bahkan banyak dari pulau dihiasi dengan kebun dan taman yang bagus, juga menghasilkan buah-buah Jawa. Di antara pulau-pulau, banyak terdapat ikan sehingga banyak nelayan Banten pergi ke situ untuk menangkap ikan.
Satu mil ke hulu kelihatan desa besar, yang rupanya termasuk wilayah kuasa raja dari Jayakarta. Pada hari berikutnya beberapa orang Tionghoa datang dengan perahu dan naik ke kapal. Mereka membawa beberapa tempat minuman keras. Rupanya mereka mau ke Jayakarta untuk memperoleh barang-barang kebutuhan lain sebagai barang dagangan.
Banyak buah-buahan dibawa kepada awak kapal. Mereka berdagang dengan damai dan tenang, diselingi transaksi tawar-menawar. Raja sempat mendatangi kapal Hollandia. Dia dikawal oleh banyak orang terkemuka dan bangsawan.
Setelah meninjau kapal, makanan kecil dipersembahkan kepadanya. Raja berterima kasih karena diterima dengan baik dan memperoleh cendera mata. (Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)