Sabtu, 13 Agustus 2011

Melongok Konflik Perbatasan di Film "Batas"

Sineas Rudi Soedjarwo kembali meramaikan layar bioskop Tanah Air dengan karya terbaru berjudul "Batas." Dibintangi oleh Marcella Zalianty, yang juga produser, Jajang C Noer, dan Piet Pagau, "Batas" mengambil latar geografis dusun-dusun di Provinsi Kalimatan Barat.

Film secara garis besar bercerita tentang ketegangan-ketegangan yang dialami oleh masyarakat setempat di wilayah Entikong, Kalimantan, yang berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia. Jalur darat yang tersedia di sana kerap dimanfaatkan oleh para tenaga kerja Indonesia mencapai negara tetangga menggunakan bus.

Inti kisah berpusat pada Jaleswari, seorang pengajar yang bertekad mengabdi sepenuhnya pada bidang pendidikan binaan sebuah perusahaan. Diperankan oleh Marcela Zalianty, Jaleswari berupaya memperbaiki kinerja program tanggung jawab sosial (CSR) perusahaan itu.

Visi Jaleswari adalah membawa anak-anak perbatasan mendapatkan pendidikan layak agar mereka mampu menjalani hidup dengan lebih baik. Karena itu, dengan kepercayaan diri tinggi, Jaleswari menyatakan kesanggupan mengeksplorasi daerah perbatasan Kalimantan itu dan menjanjikan penyelesaian masalah dalam dua minggu.

Dalam pandangan Jaleswari, daerah perbatasan itu memiliki pola kehidupannya sendiri, yang kadang tak mampu menyelaraskan kehendak dengan kenyataan.

Konflik batin muncul ketika ia kemudian terperangkap masalah kemanusiaan yang jauh lebih menarik dan menyentuh perasaan dibandingkan dengan data perusahaan yang sangat teoritis.

Setelah beberapa waktu, karisma hutan dan kehidupan masyarakat setempat telah menyadarkan dirinya bahwa perbaikan masyarakat tak bisa dipisahkan dari adat istiadat lokal.

Namun, permasalahan tak sesederhana dugaannya. Masyarakat lebih memilih jadi tenaga kerja yang dijanjikan akan meraih kekayaan oleh penjual jasa bernama Otig (Otig Pakis). Salah satu korbannya bernama Ubuh (Ardina Rasti), buruh migran Indonesia yang melarikan diri dari negeri jiran. Tapi, Ubuh memilih bungkam karena takut kepada Otig dan teman-temannya.

Oleh masyarakat Dayak di sana, Ubuh tak hanya beroleh perlindungan, namun juga kehangatan dan keramahan yang perlahan membuatnya berangsur pulih dari trauma.

Menyaksikan itu secara langsung, Jaleswari terguncang. Kepala suku menuntunnya memahami “Bahasa Hutan” demi membantunya memahami lingkungan dan mempertajam rasa kemanusiaan.

Dalam film produksi Keana Production ini, penonton akan sedikit diajak membuka mata terhadap konflik daerah perbatasan, salah satu hal yang jadi masalah nyata republik ini.

SINOPSIS
JALESWARI, dengan ambisi dan kepercayaan diri yang penuh, mengajukan diri untuk mengambil tanggung-jawab memperbaiki kinerja program CSR bidang pendidikan yang terputus tanpa kejelasan. Dia menyanggupi masuk ke daerah perbatasan di pedalaman Kalimantan dan menjanjikan dalam dua minggu ketidak-jelasan itu dapat diatasi.

Ternyata suatu kehendak belum tentu sejalan dengan kenyataan. Daerah perbatasan di pedalaman Kalimantan memiliki pola kehidupannya sendiri. Mereka memiliki titik-pandang yang berbeda dalam memaknai arti garis perbatasan. Mereka tidak terlalu perduli tentang kawasan batas negara. Mereka hidup dengan kesadaran wawasan budaya Dayak yang tidak terpisahkan oleh demarkasi batas politik. Peristiwa kehidupan yang unik telah membawa JALESWARI dalam situasi yang pelik. Konflik bathin terjadi ketika dia terperangkap pada masalah kemanusiaan yang jauh lebih menarik dan menyentuh perasaan dibanding data perusahaan yang sangat teoritis dan terasa kering karena pada hakekatnya masalah rasa sangat relatif dan memiliki kebenaran yang berbeda.

JALESWARI berada dalam tapal batas pilihan. Karisma hutan dan pola hidup masyarakat telah menyadarkan dirinya bahwa upaya memperbaiki kehidupan masyarakat tidak bisa dipisahkan dengan adat istiadat setempat. Peristiwa kehidupan manusia yang melanggar adat dan mampu menyengsarakan sesamanya tergelar jelas di depan mata. Jaleswari sangat memahami ADEUS, seorang guru yang dipercaya menjalankan program pendidikan, kini menjadi pribadi pendiam dan apatis, karena sistem pendidikan yang diinginkan perusahaan di Jakarta, tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Masyarakat lebih memilih untuk jadi tenaga kerja yang dijanjikan jadi kaya oleh penjual jasa bernama OTIK. Salah satu korbannya adalah UBUH, pekerja TKI yang melarikan diri dari negeri tetangga. Oleh masyarakat Dayak disana, UBUH tak hanya beroleh perlindungan namun juga kehangatan dan keramahan yang perlahan membuatnya berangsur pulih dari trauma.

Tragedi kemanusiaan ini, merubah pemikiran JALESWARI. Semua peristiwa terjadi di depan matanya. Jiwanya goncang dan PANGLIMA ADAYAK, kepala suku menuntunnya memahami “Bahasa Hutan” yang mengetengahkan rasa hormat dan cinta untuk tidak merusak dan sebaliknya malah menjaga dan meningkatkan harkat manusia dan lingkungan kehidupannya. Langkah JALESWARI sangat membantu ARIF sebagai instrumen negara yang dalam penyamaran dan ditugaskan di wilayah perbatasan.

Mampukah JALESWARI bangkit, melewati batasnya dan terus berjuang untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik?

CAST
Marcella Zalianty sebagai JALESWARI
Arifin Putra sebagai ARIF
Piet Pagau sebagai PANGLIMA ADAYAK
Jajang C Noer sebagai NAWARA
Ardina Rasti sebagai UBUH
Otig Pakis sebagai OTIG
Memperkenalkan
Alifyandra sebagai BORNEO
Marcell Domits sebagai ADEUS
CREW
Produser :  Marcella Zalianty
Produser Rekanan :  Yosof Thaha
Asisten Produser :  Pricillia Tanamal
Sutradara :  Rudi Soedjarwo
Penasehat Produksi :  Zairin Zain
Produser Asosiasi :  Ichwan Persada
Produser Pelaksana :  Herlam Lingga
Penulis Skenario :  Slamet Rahardjo Djarot
Penulis Cerita :  Lintang Sugianto
Penata Sinematografi :  Edi Michael
Penata Artistik :  Frans XR Paat
Penata Busana :  Chitra Subiyakto
Editor :  Wawan I. Wibowo
Penata Musik :  Thoersi Argeswara
Penata Rias :  Jerry Oktavianus
Penata Peran :  Shakti Harimurti
Theme Song :  Batas Tak Berbatas
Penyanyi :  Iwan Fals
Lirik :  Slamet Rahardjo Djarot

Dari berbagai sumber