Masuk sebagai pahlawan, keluar sebagai pecundang. Itulah kisah berulang kehidupan para pemimpin besar dunia yang terjebak dalam jabatan yang disandangnya. Kali ini, kisah itu menimpa Presiden Mesir Hosni Mubarak.
Meski terpisah jarak ribuan kilometer dan memimpin dua negeri yang jauh berbeda di zaman yang berbeda pula, kisah kehidupan Mubarak seperti mengingatkan pada kisah hidup presiden ke-2 RI, Soeharto.
Kedua tokoh itu memiliki latar belakang kehidupan yang hampir sama: meniti karier militer yang gemilang, naik ke pucuk kepemimpinan nasional setelah sebuah tragedi berdarah, berhasil memajukan negara masing-masing secara ekonomi, memerintah dengan tangan besi tetapi menikmati dukungan penuh negara-negara kampiun demokrasi dan penegak HAM dari Barat, serta bahkan terjatuh dari takhta dengan cara yang kurang lebih serupa.
Muhammad Hosni Sayyid Mubarak lahir di kota Kafr El-Meselha, Provinsi Monufia, di kawasan subur Delta Sungai Nil, 4 Mei 1928. Ayahnya pegawai negeri rendahan di Kementerian Kehakiman Mesir waktu itu.
Tak banyak yang diketahui soal masa kecil Mubarak. Mirip seperti Soeharto, kisah kehidupannya seolah dimulai saat ia bergabung dengan militer. Jika Soeharto menempuh jalur Angkatan Darat, Mubarak muda tertarik menjadi pilot pesawat tempur.
Setelah lulus dari Akademi Militer Mesir, 1949, Mubarak masuk Akademi Angkatan Udara Mesir. Ia lulus sebagai perwira pilot pada 13 Maret 1950 dan bergabung dalam skuadron pesawat tempur Spitfire sebelum kembali ke akademi menjadi instruktur pesawat tempur hingga akhir dekade 1950-an.
Di Angkatan Udara inilah karier Mubarak melesat. Memasuki dekade 1960-an, yang merupakan puncak ketegangan Perang Dingin antara blok Barat dan Timur, Mubarak mengikuti beberapa pelatihan penerbang di Uni Soviet (termasuk menjadi pilot pesawat pengebom Ilyushin Il-28 dan Tupolev Tu-16) serta mengikuti pendidikan pascasarjana militer di Akademi Militer Frunze di Moskwa, Rusia.
Pulang ke Mesir, ilmu yang didapat dari Uni Soviet membuat Mubarak dipercaya menjadi komandan skuadron dan kemudian pada Oktober 1966 diangkat sebagai Komandan Pangkalan Udara Kairo Barat lalu dipindah sebagai Komandan Pangkalan Udara di Beni Suef. Kariernya terus menanjak, menjadi Komandan Akademi Angkatan Udara pada November 1967, kemudian menjadi Kepala Staf AU Mesir dua tahun kemudian.
Susanna Kim, dalam laporannya di ABC News (www.abcnews.go.com) 2 Februari lalu, menyebutkan, sebagian besar kekayaan Mubarak, yang totalnya saat ini 40-70 miliar dollar AS (Rp 357 triliun-Rp 625 triliun) diperoleh dari beberapa kontrak militer yang ia buat selama menjabat sebagai perwira tinggi di AU ini.
Pada saat pecah Perang Yom Kippur atau Perang Oktober melawan Israel pada 1973, Mubarak, yang berpangkat mayor jenderal pada waktu itu, sudah menjabat sebagai Panglima Angkatan Udara dan Wakil Menteri Pertahanan Mesir. Inilah momen penting dalam karier Mubarak, yang serupa dengan momen yang didapat Soeharto saat ditunjuk sebagai Panglima Komando Mandala untuk pembebasan Irian Barat, 1962.
Dalam perang keempat antara Mesir dan Israel itu, Mubarak berhasil mengorganisasi sistem pertahanan udara yang mampu menahan serangan masif Angkatan Udara Israel. Dalam situs AU
Mesir (www.mmc.gov.eg) disebutkan, berkat perencanaan matang, disiplin tinggi, dan kecermatan memilih para pembantunya, Mubarak berhasil menahan gempuran lebih dari 200 pesawat tempur Israel dalam pertarungan udara selama lebih dari 50 menit di atas Pangkalan Udara Mansoura, Mesir, 14 Oktober 1973.
Mubarak pun menjadi pahlawan. Berkat prestasinya ini, pangkat Mubarak dinaikkan menjadi marsekal utama (setingkat letnan jenderal).
Begitu terkesannya Presiden Mesir Anwar Sadat waktu itu dengan figur Mubarak sehingga dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Wakil Presiden Mesir dan menjadi salah satu anggota senior Partai Nasional Demokrat (NDP) yang berkuasa. Inilah perkenalan pertama Mubarak dengan dunia politik.
Saat Soeharto naik ke kekuasaan di atas puing-puing tragedi berdarah G30S 1965, demikian juga Mubarak yang menjadi Presiden Mesir dan Ketua NDP setelah pembunuhan Anwar Sadat pada 1981. Entah bagaimana, Mubarak, yang duduk persis di sebelah Sadat dalam sebuah parade militer di Kairo, 6 Oktober 1981, selamat dari serangan granat dan berondongan senapan otomatis para prajurit Mesir yang tak suka dengan kebijakan Sadat membuat perjanjian damai dengan Israel.
Latar belakang peristiwa tragis itulah yang membuat Mubarak menerapkan kembali Undang-Undang Darurat (UU No 162/1958) di Mesir sejak hari pertama ia menjabat presiden hingga ia diturunkan paksa oleh Revolusi Nil, Jumat lalu.
Sebagaimana Soeharto, yang mempertahankan UU Subversi (UU No 11/PNPS/1963), Mubarak menggunakan UU Darurat itu untuk membabat habis lawan-lawan politik dan setiap potensi yang mengancam kedudukannya. UU itu memberi wewenang ekstra luas bagi polisi untuk menangkap, menahan, dan menyiksa seseorang yang diduga akan melawan pemerintah tanpa melalui proses pengadilan.
Meski menggunakan tangan besi dan menjalankan pemerintahan tak demokratis selama hampir tiga dekade kekuasaannya, Mubarak mendapat dukungan penuh dari AS dan negara Barat lainnya. Jika sepanjang era Orde Baru Soeharto mendapat dukungan penuh AS dan Blok Barat untuk membendung pengaruh komunisme, Mubarak didukung Barat untuk membendung ekstremisme Islam dan sentimen anti-Israel.
Di panggung internasional inilah, Mubarak menunjukkan kepiawaian berpolitik kelas dunia. Saat mewarisi kursi presiden dari Anwar Sadat, Mubarak dihadapkan pada kenyataan negaranya dikucilkan Dunia Arab gara-gara perjanjian damai dengan Israel pada 1979. Mesir dipecat dari Liga Arab dan Sekretariat Liga Arab dipindah dari Kairo ke Tunis, Tunisia.
Namun, itu semua tak membuat ia surut dan membatalkan perjanjian damai itu. Mubarak sadar betul, perdamaian dengan Israel, ditambah kebijakan politik sekuler di dalam negeri dan arti vital Terusan Suez, adalah kartu truf tak ternilai harganya di hadapan dunia Barat.
Maka, ia pun berusaha memperbaiki hubungan dengan dunia Arab melalui jalan lain, yakni memanfaatkan konflik, yang sering terjadi di kawasan Timur Tengah. Menurut Al-Jazeera, Mesir dengan cerdik memutuskan memihak dan membantu Irak dalam Perang Iran-Irak untuk mengambil hati Saddam Hussein, yang waktu itu menjadi salah satu pemimpin negara Arab paling berpengaruh.
Strategi ini berhasil. Begitu Perang Iran-Irak usai pada 1988, Mesir sudah tak lagi dikucilkan di Arab dan dua tahun kemudian markas Liga Arab dikembalikan ke Kairo.
Saat urusan dengan Dunia Arab selesai, Mubarak pun mencari pengaruh yang lebih besar di dunia. Ketika Irak menginvasi Kuwait, Agustus 1990, Mesir menjadi salah satu negara pertama yang menentang dan mendesak Irak segera mundur.
Mesir pun menjadi negara Arab pertama yang bergabung dalam pasukan koalisi multinasional pimpinan AS untuk menendang Irak—negara yang pernah menyelamatkannya dari isolasi—dari Kuwait, 1991. Sikap dan peranannya yang sangat besar dalam membantu pasukan Barat di Perang Teluk I itu (termasuk mengizinkan kapal-kapal perang melintasi Terusan Suez) mendapat hadiah tak sedikit.
AS membujuk sekutu-sekutunya di Eropa, G-8, dan negara- negara Arab di kawasan Teluk Persia untuk menghapus utang Mesir hingga senilai 14 miliar dollar AS. Sepanjang 1990-an, bantuan AS terhadap Mesir pun terus meningkat. Mesir menjadi negara penerima bantuan terbesar kedua dari AS setelah Israel dengan nilai bantuan rata- rata 2 miliar dollar AS per tahun.
Namun, sekali lagi, dengan kemampuan Mubarak, yang seolah selalu tahu ke mana arah angin berembus, bantuan itu tak membuat Mesir ”mengabdi” kepada AS secara membuta. Mubarak terang-terangan menentang rencana invasi AS dan sekutu-sekutunya ke Irak pada 2003.
Meski demikian, posisi makin kukuh di percaturan dunia itu tak dibarengi dengan penguatan sendiri yang makin rapuh di dalam negeri akibat digerogoti korupsi dan kesabaran rakyat yang makin habis terhadap totalitarianisme. Di bawah kebijakan ekonomi liberal yang diterapkan Mubarak, ekonomi Mesir mengalami kemajuan pesat dalam beberapa tahun terakhir, terutama di bidang real estat.
Akan tetapi, seperti juga di Indonesia, buah pertumbuhan ekonomi itu hanya dinikmati golongan tertentu di Mesir, yakni orang-orang di lingkaran dalam Mubarak dan NDP. Kelompok-kelompok oposisi mengatakan, kartel bisnis NDP menggunakan kekuasaan mereka untuk memonopoli kemakmuran negara, sementara sebagian besar rakyat masih hidup miskin.
Majalah The Economist menyebut, sekitar 40 persen dari total 83 juta rakyat Mesir hidup dengan penghasilan di bawah 2 dollar AS (Rp 17.800) per hari.
Mengira pilar-pilar penopang rezimnya masih cukup kokoh, Mubarak pun terlena dalam posisinya. Membiarkan ketidakadilan, penyiksaan warga, pemberangusan pers, dan demokrasi abal-abal berjalan seperti biasa. Sampai suatu ketika, generasi muda Mesir, yang sebagian besar baru lahir setelah Mubarak berkuasa dan dibukakan matanya oleh teknologi telekomunikasi, memutuskan, waktunya sudah tiba bagi sang diktator untuk pergi, menyusul rekan-rekannya dari belahan dunia lain.