Sabtu, 12 Februari 2011

Tiga Skenario untuk Mesir


Kalangan analis mulai mereka-reka sejumlah skenario untuk pergantian rezim di Mesir. Saat krisis semakin memanas di Mesir, mereka mulai melirik pada kesejajaran historis sejumlah negara.

Menghadapi situasi ini sejumlah pertanyaan patut diajukan: apakah gerakan Islam atau orang kuat baru - atau keduanya - akan menguasai kendali, seperti revolusi Iran tahun 1979? Atau tradisi sekuler Mesir dan kekuatan militer memungkinkan transisi demokrasi, seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998? Atau malah ada sesuatu di antara keduanya, seperti hasil revolusi Rumania tahun 1989?

Di era Twitter ini, mungkin hasil akhir tidak akan diketahui selama berminggu-minggu.

Di Iran saat terjadi revolusi, butuh waktu empat bulan bagi warga Iran untuk mengusir Syah Iran meninggalkan negaranya setelah terjadi aksi penembakan kepada para demonstran.

Sementara di Mesir saat ini tidak ada gerakan nyata untuk demokrasi. Padahal untuk sebuah demokrasi diperlukan adanya proses reformasi yang hati-hati. Dan, pemilihan presiden berikutnya baru akan dijadwalkan September mendatang.

Agar proses pergantian berlangsung damai, ada perubahan kunci yang diperlukan yakni mengubah Pasal 76 dari konstitusi. Pasal itu menetapkan persyaratan berat munculnya kandidat oposisi untuk pencalonan presiden; menghapus hukum darurat yang memberdayakan dinas keamanan untuk menahan tanpa adanya dakwaan kepada mereka yang dianggap mengancam negara; mengembalikan pengawasan peradilan pemilu, termasuk keberadaan hakim di setiap TPS, dan memastikan bahwa mesin negara (seperti televisi) berada di tangan orang netral.

Reformasi itu, tentu saja, belum tentu akan menjamin hasil yang bermanfaat untuk kepentingan AS.

Belajar dari sejarah, inilah tiga skenario yang mungkin paling banyak dibicarakan oleh para analis.

1. Skenario Iran

Shah Iran Mohammad Reza Pahlavi, seperti Presiden Mesir Hosni Mubarak hari ini, adalah jangkar kekuasaan AS di Timur Tengah yang memelihara hubungan dengan Israel. Ia progresif, dengan pendekatan sangat sekuler.

Tetapi ketika ia digulingkan dalam sebuah revolusi populer, klik teokratis yang dipimpin oleh Ayatollah Ruhollah Khomeini - yang lama diasingkan - merebut kekuasaan dan menekan gerakan yang awalnya dipimpin oleh mahasiswa. Selain itu, hasilnya sangat merusak bagi Amerika Serikat, dengan Iran menjadi pendukung utama militan anti-Israel di wilayah tersebut.

Paralel ini tidak sempurna - tidak ada pemimpin spiritual atau pemimpin agama Mesir yang hidup di Paris menunggu kemenangan kembali ke Kairo - tetapi beberapa ahli prihatin tentang kemungkinan gerakan Islamis Mesir meraih kendali pemberontakan. Ikhwanul Muslimin telah lama menjadi kekuatan ilegal tapi semi ditolerir dalam politik Mesir.

Mubarak menjepit kekuatan oposisi moderat dan menggunakan Ikhwanul Muslimin sebagai alasan untuk menangkis tuntutan Barat untuk kebebasan yang lebih besar. "Jika mereka mendapatkan kendali, itu hampir tidak mungkin bagi rakyat untuk mengambil kembali," kata mantan pejabat Departemen Luar Negeri Leslie Gelb, mengacu pada Ikhwanul.

Ian Johnson, seorang wartawan yang pernah menulis gerakan ini, mengutip mantan pemimpinnya yang mengatakan, "dia masih ingin memaksakan hukum Islam, atau syariah, di Mesir, tetapi dia akan melakukannya perlahan-lahan, membangun dukungan di tingkat akar rumput daripada memaksakan dari atas, seperti yang dilakukan di Iran."

Soal kekuatan Ikhwanul Muslimin ini, antropolog Scott Atran mengatakan Ikhwanul hanya dapat mengandalkan 100 ribu pengikut dari populasi lebih dari 80 juta.

2. Skenario Indonesia

Pada tahun 1998, kekuasaan otoriter Presiden Soeharto selama 32 tahun berakhir. Dia adalah sekutu lama AS yang penghentiannya sangat ditakuti di Gedung Putih. Tetapi pada akhirnya, negara Muslim yang paling padat penduduknya itu membuat transisi berantakan dan panjang menuju demokrasi. Dan sampai sekarang tetap menjadi mitra utama dari Amerika Serikat.

Thomas Carothers, wakil presiden untuk studi di Carnegie Endowment for International Peace, merujuk pengalaman Indonesia sebagai skenario yang lebih mungkin untuk Mesir dibanding skenario Iran. Meski hal itu, menurut dia, jalan itu masih akan sulit. Tetapi ada kesamaan antara Mesir dan Indonesia: tradisi yang relatif sekuler, militer yang kuat yang (sejauh ini) menolak untuk menindas pengunjuk rasa, dan pemberontakan yang dipimpin oleh campuran dari pemuda dan masyarakat sipil.

Hal yang sama juga diungkapkan Tom Malinowski dari Human Rights Watch. Menurut dia, pemulihan kebebasan politik di Mesir akan memberdayakan kekuatan politik lebih moderat untuk muncul, seperti di Indonesia, dengan militer membantu untuk memberikan stabilitas selama transisi.

3. Skenario Rumania

Revolusi Rumania menggulingkan --dan membunuhnya- seorang diktator pada tahun 1989. Sayangnya, dalam beberapa bulan elite militer dan Komunis merekayasa kelangsungan hidup mereka dengan presiden yang telah direncanakan yakni sekutu mantan diktator, memenangkan 85 persen suara dalam pemilu Mei 1990.

Aparat keamanan Mesir yang berjumlah 1 juta orang sangat mungkin meniru skenario Rumania. Dimana elite penguasa negara itu secara perlahan akan memeras kehidupan dari oposisi dengan menjadikan Mubarak seorang tokoh transisi dan memberlakukan beberapa reformasi kosmetik dengan memberikan ilusi perubahan.

Kontrol negara terhadap media tidak akan diangkat dan pemilu masih akan dimanipulasi untuk memastikan pemilihan presiden terikat pada struktur kekuasaan saat ini.

Apa yang menyelamatkan Rumania pada akhirnya adalah bahwa ia ingin menjadi anggota NATO dan Uni Eropa. Dan akhirnya sistem pemerintahan yang lebih demokratis muncul. Namun insentif tersebut saat ini tidak tersedia untuk Mesir.