Selasa, 07 Desember 2010

Daerah Istimewa Kalimantan Barat Dan Sultan Hamid II


Beberapa hal tentang Daerah Istimewa Jogjakarta telah saya tampilkan dalam Blok ini. Sekarang kita bicarakan tentang Provinisi Kalimantan Barat yang dulu bernama Daerah Istimewa Kalimantan Barat. Apakah dengan adanya kejadian sekarang ini maka Daerah Istimewa Jogjakarta Akan bernasib sama dengan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (dahulu) atau tetap Istimewa, sebuah tanda tanya besar dalam perjalanan sejarah. Yang saya ingat adalah satu hal yaitu "Sejarah adalah milik penguasa, penguasalah yang membuat sejarah saat ini atau membuat sejarah masa lalu dalam versi mereka masa kini" benar atau salah yang saya katakan tersebut, terserah anda menilainya.

Demi kejujuran sejarah dan sikap serta kesadaran sejarah, berikut ini dipaparkan perjalanan sejarah hukum DIKB sampai berdirinya Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat dan patut disadari bersama oleh anak bangsa adalah suatu kenyataan, bahwa sejarah urusan dengan masa silam, atau kejadian-kejadian yang telah lewat dan tidak mungkin diulang kembali. Penelusuran sejarah memerlukan bukti-bukti sejaman, sebagai suatu “recorde memory” yang sangat penting serta diperlukan dalam pembuktian sejarah. Untuk mengungkapkannya perlu adanya kejujuran dan “kesadaran sejarah”, karena kesadaran sejarah itu adalah sikap kejiawaan atau mental attitude dan state of mind yang merupakan kekuatan moral untuk meneguhkan hati nurani kita sebagai bangsa dengan hikmah kearifan dan kebijaksanaan, dalam menghadapi masa kini dan masa depan dengan belajar dan bercermin kepada pengalaman-pengalaman masa lampau.
Sebagaimana pernah dikutip oleh proklamator kita Bung Karno dari Sir Jhon Seely, seorang sejarahwan Inggris dalam bukunya “The Expansion Of England “History ought surely in some degree to anticipate the lesson of time. We shall all no doubt be wise after the event we study history that we may be wise before the event”, maknanya ialah “bahwa semua kejadian-lejadian di dalam sejarah itu mengandung pelajaran, dan bahwa kita semua selalu menjadi bijaksana setelah ada suatu peristiwa sejarah terjadi” itu adalah logis dan terang Kita tidak boleh akan tertumbuk dua kali kepada tiang yang sama, tetapi justru untuk bijaksana lebih dulu sebelum suatu peristiwa terjadi.

Sultan Hamid II, seorang Sultan Pontianak yang saya anggap paling berjaya meneguhkan keberadaan Kalimantan Barat sebagai daerah yang seharusnya diperhitungkan dan dihargai sebagai negeri yang bermarwah.

Sebagai seorang tokoh yang sudah kenyang asam garam perpolitikan pra kemerdekaan, semasa kemerdekaan dalam prosesi pembentukan identitas Negara Republik Indonesia ini dan turut menjadi tokoh yang mempunyai peran dalam periode awal kemerdekaan, maka eksistensi Sultan Hamid II tak pelak bagi saya menjadi percontohan yang mesti dibanggakan oleh masyarakat Kalimantan Barat.

Meskipun selama sejarah negara ini berkembang, penuh cerita yang manipulatif, sehingga peranan-peranan putra Kalimantan ini diabaikan dan tiada dianggap sebagai tokoh yang memainkan peranan dalam pembentukan negara-bangsa ini.

Sultan Hamid II di-stereotipekan sebagai pemberontak, anti negara kesatuan, dalang APRA, dan sebagainya. Sehingga dengan gampangnya sejarah yang dimunculkan mentadbirkan Sultan Hamid II sebagai sosok antagonis dalam republik ini.

Boleh jadi sejarah dan pencatatan sejarah tidak berpihak kepada Sultan yang cerdas ini, inilah penyakit negara bangsa yang kerap dengan mudahnya menghilangkan jasa-jasa dan apa-apa yang telah diperbuat seseorang hanya karena adanya perbedaan pandangan, adanya perbedaan visi seperti mengenai ideologi dan model/bentuk negara, serta adanya pertentangan politik akibat perbedaan itu, terutama jika bertentangan dengan rezim yang berkuasa. Karena rezim yang berkuasalah yang menentukan seperti apa sejarah hendak dicatat dan diceritakan kepada generasi berikutnya.

Dalam hal tiadanya pengakuan negara, Sultan Hamid tiada sendiri, ada Tan Malaka tokoh Pergerakan yang Revolusioner nan berjasa, tapi mati karena bangsanya sendiri, ada Semaun yang tidak dihargai jasanya sebagai tokoh yang bergerak untuk memperjuangkan bangsanya, jauh sebelum 1945, tapi tak dianggap hanya karena Semaun seorang yang berfaham kiri marxis sama halnya dengan Tan Malaka. Ada Natsir, yang keluar masuk penjara oleh bangsa yang diperjuangkannya, ada Alex Evert Kawilarang seorang militer mumpuni yang hilang jejak sejarahnya hanya karena bermusuhan dan bermasalah dengan rezim Orba. Dan masih banyak yang lain lagi.

Perancang Lambang Negara

Sultan Hamid II, Sultan Pontianak seorang lulusan Akademi Militer Breda Belanda, menjadi perwira tentara KNIL (Koninklijk Nederland Indische Leger) dengan pangkat Major, Sultan Hamid II mempunyai jejaring diplomatik yang amat sangat berpengaruh dalam upaya mendapatkan pengakuan atas kedaulatan negeri ini. Namun kedekatannya dengan pemerintahan kolonial Belanda kerap dijadikan argumentasi bahwa Sultan Hamid II adalah pengkhianat.

Apalagi ketika tokoh ini menjadi ketua sebuah daerah federasi dengan nama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) pada awal tahun 1948 yang membawahi daerah swapraja dan neo-swapraja di Kalimantan Barat. Pemerintahan DIKB terdiri dari 40 orang anggota dewan legislatif yang terdiri daripada 15 orang wakil swapraja dan neo-Swapraja, 8 orang wakil golongan etnik Dayak, 5 orang wakil etnik Melayu, 8 orang wakil etnik Cina, 4 orang wakil daripada Indo Belanda. Sedangkan pemerintahan DIKB dipimpin Sultan Hamid II selaku kepala daerah dengan wakilnya yaitu Nieuwhusysen yang kemudian digantikan Masjhoer Rifai’i. Dalam menjalankan pemerintahan sehariannya, Sultan Hamid selaku kepala DIKB dibantu oleh sebuah Badan Pemerintah Harian (BPH) yang beranggota 5 orang, iaitu J.C Oevaang Oeray, A.F Korak, Mohamad Saleh, Lim Bak Meng, dan Nieuwhusysen.

Lantas kemudian memimpin delegasi BFO yang lebih setuju negara ini sebagai negara federal pada Konferensi Meja Bundar (KMB) Den Haag. Maka cukup sudah alasan untuk menyingkirkan dan mengubur dalam-dalam jasa-jasa Sultan Hamid II.

Sultan Hamid II adalah seorang federalis, namun bukan berarti beliau seorang yang tidak nasionalis. Ia mendukung pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS), tetapi ia tetap menolak keinginan pemerintah Belanda untuk menjadikan Kalimantan Barat sebagai sebuah negara bagiannya. Hal ini yang dihilangkan dari sejarah! Padahal, kalau Sultan Hamid II dengan kecakapan dan keluasan jaringan diplomasinya pada saat itu, jika memang menginginkan DIKB menjadi negara bagian Belanda, maka boleh jadi Kalimantan Barat sekarang bukan bagian dari Republik ini.

Cita-cita Sultan Hamid II bersama-sama ketua-ketua daerah swapraja dan neo-swapraja lainnya sederhana sekali, bahwa dengan egara federalis, mereka menginginkan kesepakatan seperti yang telah mereka buat yakni untuk membentuk pemerintahan Kalimantan Barat sebagai sebuah daerah istimewa, sebagaimana kedudukan Kesultanan Yogyakarta yang berstatus sebagai provinsi daerah istimewa yang masih wujud sampai saat ini. Tapi karena federalisnya ini Sultan Hamid menjadi korban perjuangan politiknya bahkan seumur hidup jatuh dalam fitnah ‘pemberontak.’

Sultan Hamid II dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Denhaag, sebagai wakil negara-negara bagian dan daerah federasi dengan gigihnya memperjuangkan agar negara Indonesia tetap menjadi sebuah negara federal dengan Republik Indonesia Serikat (RIS). Selaku ketua DIKB, Sultan Hamid II berusaha agar status Kalimantan Barat sebagai daerah istimewa mendapat pengakuan resmi dalam perundingan dengan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pemerintah Belanda.

Secara singkat perjuangan tersebut tidak sia-sia, kedudukan Kalimantan Barat sebagai daerah istimewa dan negara-negara bagian serta daerah federasi kemudian mendapat pengakuan dalam konstitusi negara RIS (Republik Indonesia Serikat). Pengakuan terhadap daerah istimewa Kalimantan Barat itu sesuai dengan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang ditanda tangani di Den Haag tentang pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS), serta persetujuan pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan pada tahun 1949 kepada pemerintahan RIS.

Namun apa daya, dalam pemerintahan RIS di bawah Perdana Menteri Muhammad Hatta, Sultan Hamid II hanya dilantik menjadi Menteri Negara Porto Folio, suatu jabatan penghibur atau mungkin sekedar pelengkap penderita. Pengangkatannya sebagai Menteri Negara tanpa tugas khusus itu, tentu membuat Sultan Hamid II kecewa, karena tidak setimpal dengan peranan yang telah dilakukannya dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag (kasusnya hampir sama meskipun berbeda konteks ketika Natsir kecewa, Alex Evert Kawilarang kecewa, atau ketika Kahar Mudzakar kecewa dengan pemerintahan sehingga melahirkan protes).

Jasa lainnya yang dihilangkan begitu saja adalah peranan Sultan Hamid II dalam KMB tidaklah semata-mata memperjuangan BFO dan Federalisme, tapi…kesediaan Belanda menyetujui penyerahan kedaulatan seluruh wilayah bekas jajahannya di Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, tidak terlepas daripada jasa Sultan Hamid II yang mampu berjaya membujuk Ratu Yuliana selaku Ratu Belanda. Ini bukti kelihaian diplomasi dan karena kedekatan Sultan Hamid II yang pernah menjadi Ajudan/Pengawal Ratu Yuliana Belanda.

Kemudian, hal lain yang juga yang dilakukan untuk menghilangkan eksistensi Sultan Hamid II adalah perihal siapa yang menjadi Desainer dari Lambang Kenegaraan yang masih terpakai hingga saat ini yakni Burung Garuda tersebut. Meski sejarah menutup-nutupi, hasil karya Sultan Hamid II selaku perancang Lambang Kenegaraan tersebut tak boleh dilupakan.

Kalimantan tanpa Sultan Hamid II

Sudah menjadi nasib Kalimantan Barat, selepas Sultan Hamid II ditahan hingga wafat tanpa kehormatan, DIKB kemudian dibubarkan pada penghujung tahun 1950. Kalimantan Barat statusnya hanya menjadi sebuah provinsi dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 1956. Hilang sudah cerita DIKB yang menjadi cita-cita Sultan Hamid II dan Para Raja, Sultan, Panembahan dan Tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Kalimantan Barat. Apa yang didapat Kalimantan Barat sebagai Provinsi yang tidak memiliki keistimewaan?

Pengeksploitasian sumber daya alam (SDA) terjadi tanpa kendali, apalagi semasa rezim sentralistik. Hutan Kalimantan Barat mengalami deforestisasi yang mencengangkan sekaligus mencemaskan, sumber-sumber pertambangan di-eksploitasi, sungai-sungai besar tak lagi jernih, mercuri mencemari, penduduk negeri digusur demi perkebunan atas nama pembangunan. Tiada lagi kehormatan sebagai negeri yang pernah berjaya, tiada lagi marwah sebagai negeri yang berdikari, tiada lagi adat resam budaya yang terpelihara, peninggalan sejarah menjadi lapuk dimakan usia, hak ulayat sudah tidak dihargai lagi, masyarakat adat terpinggirkan.

Apa beda Kalimantan Barat dengan Aceh, Yogyakarta dan Papua?! Perihal keistimewaan atau mungkin kekhususan, Kalimantan harusnya punya keistimewaan itu. Bedanya Kalimantan terutama Kalimantan Barat…meminjam istilah Melayu Pontianak ‘tak kuase jak’ untuk menagih itu. Kalimantan Barat selalu patuh dan menjadi anak baik di negeri ini, Kalimantan Barat belum berani fight menagih kembali haknya. Saking patuh dan penurutnya Kalimantan maka marwah tergadaikan. Padahal apa yang kurang yang disumbangkan Kalimantan termasuk Kalimantan Barat untuk negeri ini, SDA yang dikeruk sampai Kalimantan tinggal tunggul dan ampas. Semoga di masa hadapan Borneo menjadi lebih baik!



Berikut ini dipaparkan fakta obyektif terhadap sejarah hukum DIKB dalam tataran ketataranegasran Republik Indonesia, bahwa secara yuridis sebelum kemerdekaan bagaimana kedudukan wilayah Kalimantan, ternyata pada zaman pendudukan Jepang seluruh Kalimantan berada dibawah kekuasaan Pemerintah Angkatan Laut Jepang, yaitu Berneo Meinseibu Cokan 1942 Agustus 1945 dan berpusat di Banjarmasin.
Khusus Kalimantan Barat berstatus “Meinseibu Syuu”, sebelum pemulihan kedaulatan Para Raja atau Sultan mencatat “tinta emas” di bumi Khatulistiwa yang kode areanya 0561 yang makna filosofisnya menurut para Ulama atau para wali Allah “bersihkan dirimu dengan Rukun Islam dan Rukun Iman dan kembali ke Tauhid”, dan semangat itulah kemudian berdasarkan Putusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Berneo Barat tanggal 22 Oktober 1946 No 20 L dibagi dalam 12 Swapraja dan 3 Neo- Swapraja, yakni 1. Swapraja Sambas, Swapraja Pontianak, Swapraja Mempawah, Swapraja Landak, Swapraja Landak, Swapraja Kubu, Swapraja Matan, Swapraja Sukadana, Swapraja Simpang, Swapraja Sanggau, Swapraja Sekadau, Swapraja Tayan, Swapraja Sintang dan Neo Swapraja, yaitu 1 Neo Swapraja Meliau, Neo Swapraja Nanga Pinoh, Neo Swapraja Kapuas Hulu.
Keputusan Gabungan Para Raja atau Sultan di Kalimantan Barat tersebut kemudian mewujudkan suatu ikatan federasi dengan nama “Daerah Istimewa Kalimantan Barat” atau DIKB dan Keputusan itu kemudian secara hukum disahkan Residen Kalimantan Barat dengan surat keputusan tanggal 10 Mei 1948 No 161, pada tahun 1948 keluarlah Besluit Luitenant Gouvernur Jenderal tanggal 2 Mei 1948 No 8 Stabld Lembaran Negara 1948/58 yang mengakui Kalimantan Barat berstatus Daerah Istimewa dengan Pemerintahan Sendiri berserta sebuah “Dewan Kalimantan Barat.
Berdasarkan rangkaian ketatanegaraan tersebut di atas, maka tidak benar, bahwa Daerah Istimewa Kalimantan Barat merupakan hasil bentukan Pemerintah Belanda sebagai ditulis para sejarahwan, mengapa para Raja atau Sultan di Berneo Barat menggabungkan diri kedalam DIKB, karena Kalimantan Barat merasa tidak ikut perjanjian Renville jadi ketika itu jika Kalimantan Barat ingin membentuk negara di luar RI bisa saja dan Sultan Hamid II pernah ditawari oleh Kerajaran Serawak Kucing Malaysyia Timur, tetapi Sultan Hamid II tidak mau, itulah semangat nasionalisme Sultan Hamid II yang tak pernah terungkap dalam tataran sejarah negara ini, sama dengan sumbangsih Sultan Hamid II di KMB 1949 dan Perancang Lambang Negara RI, 1950
Berdasarkan KMB Sultan Hamid II sebagai wakil BFO dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Republik Proklamasi 17 Agustus 1945 Yogyakarta bersepakat membentuk RIS atau Republik Indonesia Serikat, pertanyaan kepada sejarahwan, apakah jika Sultan Hamid II tidak pernah menanda tangani hasil KMB Den Haag di Belanda, apakah secara hukum internasional Belanda mengakui kedaulatan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 yang diwakili Mohammad Hatta, mengapa anda tidak angkat jasa Sultan Hamid II sebagai “strategis politis” bagaimana secara tidak langsung Pemerintah Belanda sebagai penjajah mengakui secara Yuridis Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 yang diwakili Mohammad Hatta, inilah fakta obyektif secara hukum ketatanegaraan mengenai DIKB.

Mengapa, sebagai fakta obyektif, karena secara hukum DIKB di dalam Konstitusi RIS 1949 pada Pasal 1 dan penjalasannya jelas dinyatakan sebagai Daerah Bagian bukan negara bagian, atau menurut penjelasan Konstitusi RIS 1949 termasuk dalam perumusan satuan-satuan kenegaraan yang tegak berdiri sendiri, seperi Dayak Besar, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Banjar, jadi sekali lagi secara yuridis ketatanegaran DIKB bukan negara bagian tetapi Satuan Kenegaraan yang berdiri sendiri yang merupakan Daerah Bagian RIS jadi setara dengan Negara Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 yang berkedudukan ibu kotanya di Yogyakarta dan hal ini tidak pernah di angkat secara obyektif dalam menulis sejarah DIKB yang digagas secara brilian para leluhur Raja atau Sultan di Berneo Barat atau Kalimantan Barat yang sepakat mendirikan DIKB.

Jadi secara Hukum Tata Negara DIKB tidak pernah dibubarkan dan jika ketika itu ada demo di Kota Pontianak kepada Sultan Hamid II terhadap DIKB, kemudian hasil demo itu DIKB menjadi bubar adalah sebuah “kebohongan sejarah” secara yuridis ketatanegaraan, karena dengan berbagai demo yang dimotori anak-anak muda salah satunya almarhum Ibrahim Saleh, hal itu karena beda visi dan beda derajad pendidikan dan belum memahami mengapa Para Raja atau Sultan di Berneo Barat sepakat mendirikan DIKB yang didukung oleh Sultan Hamid II yang berkedudukan sebagai Raja Kesultanan Pontianak 1945-1976 dan sebagai Gubernur DIKB jika saat sekarang, karena berbagai kesultanan di Kalimantan Barat masih eksis dan berjalan dan didukung oleh tokoh adat dan masyarakat, dan patut disadari Para Raja atau Sultan memiliki pandangan visioner ke depan, dan saat ini baru kita merasakan, lihatlah dan pembuktian sekian pemekaran Kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat salah satu proposalnya, menyatakan,bahwa Daerah Kami bekas Swapraja atau Neo Swapraja sebagai factor histories yang nota bene adalah bekas wilayah DIKB, secara obyektif fakta hukum ini tidak pernah diangkat oleh sejarahwan.
Alasan yang digunakan para pendemo Sultan Hamid II ketika berkunjung ke Pontianak adalah, karena Sultan Hamid II beristeri Belanda keponakan Wihelmena, dan dianggap DIKB sebagai sisa peninggalan pemerintahan Belanda, pertanyaannya untuk sejarahwan secara hukum tata negara, apakah secara yuridis DIKB yang didirikan oleh Para Raja atau Sultan Di Kalimantan Barat berdasarkan Putusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Berneo Barat tanggal 22 Oktober 1946 No 20 L yang dibagi dalam 12 Swapraja dan 3 Neo- Swapraja dan kemudian diakui secara konstitussional pada Pasal 1 Kontitusi RIS 1949 adalah sisa peninggalan pemerintahan Belanda, ini adalah sangat naïf jika dipahami oleh sejarahwan tanpa melakukan analisis pendekatan Sejarah Hukum Ketatanegaran Pemerintahan berdasarkan fakta hukum yang dikonstruksi secara obyektif tentang DIKB.

Secara obyektif desakan demo kepada Sultan Hamid II tentang DIKB dibubarkan, karena perbedaan visi antara kaum muda dimotori kepentingan politis yang tak mengerti pandangan Para Raja atau Sultan saat itu dan Pandangan dari Sultan Hamid II terhadap maksud didirikan DIKB, coba kita baca secara lengkap Pledoi Sultan Hamid II pada Sidang Mahkamah Agung tanggal 23 Maret 1953, mengapa Pandangan Sultan Hamid II terhadap maksud pendirian DIKB tidak diangkat kepermukaan oleh sejarahwan, tulislah sejarah secara obyektif dengan fakta historis yuridis jika akan mengangkat sejarah Tata Pemerintahan yang berkaitan dengan DIKB, bangunlah fakta sejartah dengan konstruksi sejarah hukum melalui analisis obyektif.

Apakah DIKB “pernah bubar” secara Hukum Tata Negara?
Untuk mengatasi “crucial point” atas desakan itu, maka berdasarkan Keputusan Dewan Kalimantan Barat tanggal 7 Mei 1950, masing-masing nomor 234/R dan 235 baik Badan Pemerintahan Harian DIKB maupun penjabat Kepala Daerah DIKB menyerahkan wewenangnya kepada Pemerintah Pusat RIS yang diwakili oleh seorang Pejabat yang berpangkat Residen, jadi tidak ada Pembumbaran oleh Dewan Kalimantan Barat terhadap status hukum DIKB, karena memang DIKB secara konstitusional diakui secara hukum ketatanegaraan berdasarkan Pasal 1 Konstitusi RIS 1949.

Selanjutnya untuk menampung ini Menteri Dalam Negeri RIS dengan surat Keputusan 24 Mei 1950 No B. Z 17/2/47 ditetapkan hak-hak dan kewajiban pemerintahan yang diserahkan tersebut untuk sementara dijalankan oleh seorang Residen Kalimantan Barat yang berkedudukan di Pontianak berdasarkan Pasal 54 Konstitusi RIS, jadi DIKB status hukum belum bubar, hanya diambil alih oleh Residen Kalimantan Barat berdasarkan Kontitusi RIS pasal 54, mengapa hal ini juga tidak diangkat oleh sejarahwan, bahkan menyatakan terlalu berani, menyatakan bahwa DIKB telah bubar, dari mana dasar hukumnya dari sisi Hukum Tata Negara, hati-hati seorang sejarahwan telah melakukan “kebohongan sejarah” dan melukai “suarahati” para leluhur yang nota bene para Raja dan Sultan di Kalimantan Barat yang bergabung di dalam DIKB ketika itu dan para keturunan telah membentuk ikatan persatuan para Raja se Indonesia/Nusantara, sejarahwan tersebut bisa diklaim telah melakukan “kebohongan sejarah DIKB” dan obyektiflah dalam menulis sejarah tanyakan kepada ahlinya jika tidak mengathui, sebagai pesan Rasulullah SAW kepada para sahabat.

Pada Tahun 1950 keluarlah Peraturan Pemerintah RIS No 2/1950 tanggal 4 Agustus 1950 yang menetapkan bahwa seluruh Kalimantan kecuali Daerah Jajahan kerajaan Inggris menjadi satu daerah Provinsi administrative.

Dengan demikian, secara Hukum Tata Negara Kalimantan Barat secara administrative merupakan bagian dari Provinsi Kalimantan dibawah pemerintahan Gubernur yang berkedudukan di Banjarmasin dan berarti juga bahwa Kalimantan tanpa Kalimantan Barat yang berstatus DIKB yang dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia yang terdiri dari Daerah Bagian Kalimantan Timur dengan Keputusan Presiden RIS No 127 tanggal 24 Maret 1950, Banjar dengan Keputusan Presiden RIS No 13 Tanggal 4 April 1950, Dayak Besar dengan Keputusan Presiden RIS 138 tanggal 4 April 1950 dan Kota Waringin dengan Keputusan Presiden RIS No 140 Tanggal 4 April 1950 menggabungkan diri dengan Negara Bagian Republik Indonesia 17 Agustus 1945 Yogyakarta dan Pemerintah RIS mengangkat seorang Gubernur sebagai penjabat Pemerintah yang tertinggi atas wilayah hukum seluruh Kalimantan, terkecuali Kalimantan Barat sebagai DIKB, dan kedudukan Residen di Pontianak bersama Residen Banjarmasin dan Samarinda dihapus atau diambil alih oleh Gubernur, yaitu dibawah Gubernur yang baru dengan sebutan masing sebagai Residen Koordinator.

Pertanyaan untuk sejarahwan, apakah DIKB secara Hukum Tata Negara “bubar” berdasarkan Konstitusi RIS 1949, secara obyektif berdasarkan fakta hukum, bukan fakta hasil demo ketika Sultan Hamid II berkunjung ke Pontianak, DIKB tidak pernah bubar dan fakta hal inilah yang dikonstruksi kembali oleh sejarahwan Kal-Bar dengan pendekatan sejarah hukum agar lebih obyektif dan ilmiah .

Perjalanan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia kemudian memasuki UUDS 1950 yang berbentuk negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950, maka secara konstitusi DIKB sebagai Daerah Bagian RIS atau sebagai Kesatuan kenegaraan berdasarkan Pasal 1 Konstitusi RIS 1949 hapus, sedang hak dan kewajiban Pemerintahan yang dijalankan oleh DIKB jatuh kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dibawah UUD 1950, tetapi Residen tinggal di pos Pontianak sebagai Pegawai Pejabat Pemerintahan Negara Kesatuan, artinya para Pejabat dimasa DIKB berubah status sebagai pegawai atau Pejabat Pemerintah Negara Kesatuan dan Pak Jimmi Ibrahim salah satunya.

Dengan demikian DIKB yang pernah dirikan berdasarkan Putusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Berneo Barat tanggal 22 Oktober 1946 No 20 L yang dibagi dalam 12 Swapraja dan 3 Neo- Swapraja menjadi hapus secara konstitusional, sedangkan hak-hak dan kewajiban pemerintah dikembalikan kepada anggota-anggota federasi DIKB dan fakta hukumnya para Raja menjadi pejabat atau pegawai Pemerintahan Negara Kesatuan dibaeah UUDS 1950.

Pada tahun 1951, keluarlah Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Tanggal 8 September 1951 No Pem 20/6/10 yang menyatakan, bahwa yang mencakup segala ketentuan pem bagian secara administrative Daerah Kalimantan Barat atau DIKB, yang dahulu dikenal dengan “Residentie Westerafdeling van Berneo” dan menjadi Daerah Kalimantan Barat dibagi menjadi 6 enam Daerah Kabupaten administrative, yakni 1 Kabupaten Pontianak, 2 Kab Ketapang, 3, Kab Sambas, 4 Kabupaten Sintang, 5 Kabupaten Sanggau, 6 Kabupaten Kapuas Hulu dan sebuah daerah Kota Administratif Pontianak.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka Kalimantan Barat yang dahulu DIKB menjadi bahagian Provinsi Administratif Kalimantan dan dikepalai oleh seorang Residen yang berkedudukan di Pontianak yang merupakan subordinee kepada Gubernur Kalimantan yang berkedudukan di Banjarmasin, Jadi secara Hukum Tata Negara Residen Kalimantan Barat di Pontianak bukan seorang Residen pendukung hak dan tugas sendiri, melainkan hanya melaksanakan tugas koordinator saja dengan sebutan “Residen Koordinator” dan hal ini tidak pernah diangkat sebagai fakta sejarah hukum DIKB.

Terbentuknya Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat
Pada Tahun 1953 keluarlah UU Darurat No 2 Tahun 1953 yang mulai berlaku dari tanggal 7 Januari 1953 yang mengacu atau berdasarkan UU No 2 Tahun 1948. UU Darurat tersebut pada Pasal 1 UU itu menyatakan, bahwa Daerah Provinsi Kalimantan yang bersifat administrative seperti dimaksud dalam Peraturan Pemerintah RIS No 21/1950 yaitu dimaksudkan disini adalah DIKB yang kemudian dibentuk sebagai Daerah Otonom Provinsi Kalimantan yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri.

Pada Tanggal 7 Januari 1953 UU Darurat No 2 Tahun 1953 Tentang Pembentukan Resmi Daerah Otonom Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat Kabupaten/Kota Besar dalam Lingkungan Daerah Provinsi Kalimantan Barat.

Kemudian untuk melaksanakan UU Darurat No 2 Tahun 1953 Pemerintah RI mengeluarkan UU no 27 Tahun 1959 yang disyahkan pada tanggal 26 Juni 1959 dan patut diketahui, bahwa pada tahun 1956 sebelumnya daerah-daerah otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur mencabut UU Darurat No 2 Tahun 1953. Ini berarti secara Hukum Tata Negara, bahwa UU No 25 Tahun 1956 ini memecah Provinsi Kalimantan menjadi 3 tiga Provinsi Otonom.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No Des 52/10/56 tanggal 12 Desember 1956 ditetapkan UU tersebut yang mulai berlaku pada 1 Januari 1957. Dengan demikian secara “de jure” atau secara Hukum Tata Negara sejak pada tanggal 1 Januari 1957, secara Yuridis Formal Kalimantan Barat menjadi Daerah Otonom Provinsi, oleh karena sangat tepat apabila HUT Pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat tepat pada tanggal 1 Januari setiap tahun, walaupun secara “de fakto” di Banjarnmasin diselenggarakan timbang terima dari Gubernur/Kepala Daerah Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Adapun wilayah Kalimantan Barat yang dahulu wilayah DIKB ini meliputi daerah swatantra Kabupaten Sambas, Pontianak sebagaimana ditetapkan oleh UU Darurat No 3 Tahun 1953 demikian yang dipaparkan pada risalah Tanjungpura Berjuang, 1970, oleh SENDAM XII/Tanjungpura.

Mengacu pada paparan sejarah hukum ketetanegaraan DIKB sampai dengan terbentuknya Provinsi Kalimantan Barat, maka secara fakta hukum tata negara DIKB tidak pernah dibubarkan sampai dengan berlakukan UUDS 1950 pada tanggal 17 Agustus 1950, dan sangat disayangkan penulisan sejarah Pemerintahan Daerah Kalimantan Barat telah dicederai oleh seorang yang mengaku sejarahwan Kal-Bar, yaitu Syafaruddin Usman, bahwa DIKB dibubarkan setelah ada demo ke Sultan Hamid II dan sepatutnya melakukan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat Kalimantan Barat lebih khusus pada kerabat Raja-Raja atau Sultan yang dahulu leluhurnya pernah mendirikan Federasi sebagai Kesatuan Kenegaraan atau bukan negara bagian RIS 1949 yang diakui secara Konstitisional berdasarkan pasal 1 Konstitusi RIS 1949 dan tak pernah dibubarkan secara hukum tata negara, tulislah sejarah seobyektif mungkin, jangan melakukan “kebohongan sejarah dipublik Kal-Bar” dengan tidak melalui analisis sejarah yang tidak didukung fakta hukum apalagi yang ditulis adalah sejarah DIKB yang merupakan ranah Sejarah Hukum Ketatanegaraan.

Sekalilagi patut disadari bersama oleh anak bangsa adalah suatu kenyataan, bahwa sejarah urusan dengan masa silam, atau kejadian-kejadian yang telah lewat dan tidak mungkin diulang kembali. Penelusuran sejarah memerlukan bukti-bukti sejaman, sebagai suatu “recorde memory” yang sangat penting serta diperlukan dalam pembuktian sejarah. Untuk mengungkapkannya perlu adanya kejujuran dan “kesadaran sejarah”, karena kesadaran sejarah itu adalah sikap kejiawaan atau mental attitude dan state of mind yang merupakan kekuatan moral untuk meneguhkan hati nurani kita sebagai bangsa dengan hikmah kearifan dan kebijaksanaan, dalam menghadapi masa kini dan masa depan dengan belajar dan bercermin kepada pengalaman-pengalaman masa lampau.

Itulah hikmah kearifan dan kesadaran sejarah. Pernyataan itu selaras dengan ungkapan bersayap, bahwa sejarah harus dijadikan motor penggerak bagi hari depan suatu bangsa, dan hanya bangsa yang besarlah yang mau menghargai sejarah bangsanya, “Tanpa ingatan akan sejarahnya dimasa yang lampau setiap bangsa tidak mengerti arti sejarahnya hari sekarang dan tidak akan mempunyai pegangan untuk hari depannya” demikian yang dinyatakan Roeslan Abdul Gani, dalam buku “Arsip Dan Kesadaran Sejarah, 1979 halaman 2.

Semoga Allah memberikan rahmat dan pembuktian nyata kepada siapa saja yang melakukan “kebohongan-Kebohongan sejarah”, dan ampunan dari Allah terbuka lebar bagi manusia dan semoga Para Raja atau Sultan yang pernah mengungkir tinta emas berdirinya Daerah Istimewa Kalimantan Barat/DIKB di bumi Khatulistiwa Kalimantan Barat mendapat balasan dan akhirnya pengamatan terhadap sikap dan perilaku seseorang tetaplah menjadi sesuatu yang belum pasti. Biarlah hal ini tetap menjadi misteri dan hanya Allah SWT sajalah yang mengetahui niat para Raja atau Sultan ketika mendirikan DIKB yang ternyata saat ini banyak mengandung manfaat dalam perjalanan sejarah pemerintahan daerah di Kalimantan Barat, yaitu pengulangan sejarah DIKB dalam bentuk lain, yaitu Perjuangan Pemekaran berbagai Kabupaten di wilayah Provinsi Kalimantan Barat kepada Pemerinatah RI dengan mengulangi bekas swapraja dan neo swapraja DIKB yang berjumlah 12 Swapraja dan 3 Neo Swaprja.