Kamis, 02 Desember 2010

DWI TUNGGAL & DIY

Setelah Proklamasi Kemerdekaan dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945, HB IX mengajak PA VIII berdiskusi tentang bagaimana sikap Yogyakarta terhadap RI. Waktu itu, PA VIII berkata kepada HB IX: ”Saenipun kito bergabung mawon kaliyan Republik” (Sebaiknya kita bergabung saja dengan Republik). HB IX pun berkata: ”Yes, aku setuju!” Kemudian, HB IX memanggil sekretarisnya (Kanjeng Raden Tumenggung Hanggawangsa) untuk mengirim telegram kepada Bung Karno yang berisi dukungan Kasultanan-Pakualaman Yogyakarta kepada RI.

Seandainya saat itu HB IX dan PA VIII tidak bersehati untuk mendukung RI, sejarah akan menjadi lain. Apalagi, Belanda memberi tawaran kepada Sultan untuk menjadi Wali Nagari atas Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam rangka pembangunan sebuah negara federal rancangan Belanda. Namun, HB IX dan PA VIII sudah berbulat tekad untuk mendukung RI.

Piagam Kedudukan dan DIY

Menanggapi dukungan tersebut, Pemerintah Pusat memberikan Piagam Kedudukan bagi Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono IX dan Piagam Kedudukan bagi Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII. Piagam Kedudukan itu ditandatangai sendiri oleh Presiden Soekarno pada tanggal 19 Agustus 1945.

Dalam perkembangannya kemudian, HB IX dan PA VIII, masing-masing mengeluarkan Amanat pada tanggal 5 September 1945. Dengan Amanat itu, di wilayah Yogyakarta terdapat 2 Daerah Istimewa, yaitu Negeri Yogyakarta Hadiningrat dan Negeri Paku Alam. Amanat 5 September 1945 itu merupakan embrio keistimewaan Yogyakarta. Kemudian, pada tanggal 30 Oktober 1945, HB X bersama PA VIII mengeluarkan sebuah Amanat. Dengan Amanat itu, di wilayah Yogyakarta hanya terdapat satu Daerah Istimewa dengan dua Kepala Daerah (Sri Sultan dan Paku Alam). Waktu itu, sebutannya belum DIY, tetapi Daerah Istimewa Negara Republik Indonesia. Baru setelah terbit UU No 3 tahun 1950, muncul sebutan atau nama Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang merupakan satu Daerah Istimewa dengan Sri Sultan sebagai Gubernur dan Sri Paduka Paku Alam sebagai Wakil Gubernur.

Piagam Kedudukan Sri Paduka

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario

Paku Alam VIII

Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan:

KANJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ARIO PAKU ALAM INGKANG KAPING VIII PADA KEDUDUKANNYA, DENGAN KEPERCAYAAN, BAHWA SRI PADUKA KANJENG GUSTI AKAN MENCURAHKAN SEGALA PIKIRAN, TENAGA, JIWA, DAN RAGA UNTUK KESELAMATAN DAERAH PAKU ALAMAN SEBAGAI BAHAN DARI PADA REPUBLIK INDONESIA.

Jakarta, 19 Agustus 1945

Presiden Republik Indonesia

AMANAT SRI PADUKA

KANJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ARIO PAKU ALAM

Kami Paku Alam VIII Kepala Negeri Paku Alaman, Negeri Ngayogyokarto Hadiningrat menyatakan:

  1. Bahwa Negeri Paku Alaman, yang bersifat Kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
  2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan Pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya.
  3. Bahwa perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung dan Kami bertanggungjawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dalam Negeri Paku Alaman mengindahkan Amanat Kami ini.

Paku Alaman, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945

PAKU ALAM VIII

Kepemimpinan Dwi Tunggal

Sejak bersama memimpin Yogyakarta, Sri Sultan HB IX dan Paku Alam VIII sangat kompak.Dalam hal bermain strategi, mereka pun bertindak dengan sangat solid. Menjelang Serangan Umum 1 Maret 1949, HB IX dan PA VIII bersepakat untuk membuat isu (fluistercampagne) bahwa seolah-olah mereka berdua akan meletakkan jabatan. Dengan desas-desus seperti itu, Belanda tidak bisa memperalat mereka. Logikanya, jika mereka berdua lengser maka Belandalah yang harus bertanggungjawab atas kekacauan yang terjadi di Yogyakarta.

Sejarah mencatat bahwa kepemimpinan HB IX-PA VIII memainkan peran penting dalam menjaga eksistensi bangsa dan negara Indonesia. Pada tanggal 14 Januari 1946, setelah dwi tunggal Soekarno-Hatta berembug dengan dwi tunggal HB IX-PA VIII, diambil keputusan untuk memindahkan ibukota RI dari Jakarta ke Yogyakarta. Untuk itu, Paku Alam VIII memberikan Puro Pakualaman menjadi tempat tinggal sementara bagi Bung Karno dan keluarganya. Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII menjamin akan menjaga keamanan dan keselamatan Pemerintahan RI dengan segala kemampuan yang ada.

DEDIKASI UNTUK RI

Sikap dan pemikiran tegas Paku Alam VIII untuk berpihak kepada NKRI mendapat apresiasi dan dukungan penuh dari para Abdi Dalam Puro Pakualaman. Dengan demikian, dedikasi kepada NKRI tersebut merupakan suatu kebulatan tekad seluruh Praja Pakualaman. Dalam sebuah rapat pada tanggal 13 Oktober 1945, Persatuan Abdi Dalem Praja Pakualaman menyatakan sebuah mosi sebagai berikut:

  1. Para Abdi Dalam Praja Pakualaman harus teguh, bersatu padu dalam lingkungan negara Republik Indonesia Merdeka, siap mencurahkan segala tenaga, jiwa, dan raga membela Indonesia merdeka.
  2. Tetap setia dan berdiri di belakang Sri Paduka Ngarsa Dalem Kanheng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII yang telah mendapat kepercayaan penuh dari PJM Presiden Republik Indonesia.

Para Abdi Dalam Praja Pakualaman akan meletakkan jabatannya, jika bangsa lain memerintah Indonesia.

FASILITATOR PERJUANGAN

Dalam mendedikasikan diri untuk kepentingan bangsa, Paku Alam VIII (dan Kadipaten Pakualaman) lebih banyak mengambil peran sebagai fasilitator. Sri Sultan HB IX lebih banyak tampil sebagai master mind dan decision maker. Namun, posisi Paku Alam VIII sebagai the second people bukan tidak penting. Dalam masa-masa sulit, peran seorang fasilitator seringkali justru sangat menentukan.

Peran Paku Alam VIII dan Puro Pakualaman sebagai falitator sangat berarti selama masa revolusi fisik (1945-1949). Selama ibukota RI berada di Yogyakarta (sejak 14 Januari 1946), Puro Pakualaman dipakai sebagai tempat tinggal sementara oleh Presiden sekeluarga. Putri Bung Karno, Megawati, lahir di istana Pakualaman ini. Paku Alam VIII dan Puro Pakualaman memberi bantuan akomodasi dan logistik bagi semua peserta konferensi TKR. Dalam konferensi itu dipilih beberapa pimpinan baru, yaitu Kolonel Sudirman (Pimpinan Tertinggi TKR), Letjend. Urip Sumoharjo (Kepala Staf Umum TKR), dan Sri Sultan HB IX (Menteri Pertahanan). Seluruh pejabat TKR diberi bantuan berupa rumah-rumah dinas oleh Puro Pakualaman. Letjend. Urip Sumoharjo diberi rumah dinas yang berlokasi di jalan Widoro, Kotabaru. Selama perundingan KTN di Kaliurang (8-17 Desember 1947), Puro Pakualaman juga membantu akomodasi.

Untuk mengatasi masa sulit pada sekitar tahun 1965, Paku Alam VIII melakukan tindakan-tindakan strategis. Ia memerintahkan seluruh aparat Pemda untuk membantu masyarakat dengan memberi bantuan pangan. Dalam keadaan darurat karena pemberontakan PKI, ia memfasilitasi RRI (Radio Republik Indonesia) untuk mengadakan siaran di Ndalem Puro Pakualaman.

Setelah naik tahta pada tahun 1813, Pangeran Notokusumo yang adalah putra dari Sri Sultan HB I memakai gelar Pangeran Adipati Paku Alam I. Sejak itu, dimulailah pemerintahan Pakualaman sebagai sebuah kerajaan yang bersifat otonom: mempunyai kedaulatan, wilayah kekuasaan, rakyat, simbol-simbol, dan bahkan sempat memiliki kekuatan militer tersendiri (pada era Paku Alam V). Paku Alam disebut Adipati karena adalah seorang Bupati Mardika (raja yang otonom). Kadipaten Pakualaman telah turut mengukir sejarah lintas generasi….

Pangeran Notokusumo / Pangeran Adipati Paku Alam I (1813-1829)

Pendiri wangsa Pakualaman yang lahir pada tahun 1760 ini adalah peletak dasar kebudayaan Jawa dalam Kadipaten Pakualaman. Kepada para putra sentana, PA I memberi pelajaran sains dan tata negara. Beberapa karya sastranya adalah: Kitab Kyai Sujarah Darma Sujayeng Resmi (syair), Serat Jati Pustaka (sastra suci), Serat Rama (etika), dan Serat Piwulang (etika). Ia wafat pada tanggal 19 Desember 1829.

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam II (1829-1858)

Pengembang kebudayaan yang lahir pada tanggal 25 Juni 1786 ini berhasil membuat Pakualaman dikenal sebagai pusat kesenian. Saat itu, musik dan drama modern juga diadopsi oleh Pakualaman. Disamping menulis Serat Barata Yuda, PA II juga turut menulis Serat Dewaruci bersama ayahnya (PA I). Ia wafat pada tanggal 23 Juli 1858.

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam III (1858-1864)

PA III yang bergelar ”Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Surya Sasraningrat I” ini adalah seorang pujangga besar. Tiga karyanya yang penting adalah: Serat Darma Wirayat, Serat Piwulang, dan Serat Abiya Yusup. Ia lahir pada tanggal 19 Desember 1858 dan wafat pada tanggal 17 Oktober 1864.

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam IV (1864-1878)

Ia dilahirkan pada tanggal 25 Oktober 1851 dan bergelar ”Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Surya Sasraningrat II”. PA IV menaruh minat pada pendidikan dan kesenian (tari dan wayang). Ia mengirim para abdi dalem ke Solo untuk belajar di sekolah guru dan ke Jakarta untuk belajar di sekolah keperawatan. Ia menciptakan tarian beksan Floret (tarian dengan pedang) dan beksan Schermen (stilisasi tari-tarian Eropa). Ia juga merenovasi Bangsal Sewotomo yang rusak karena bencana gempa bumi besar yang terjadi pada tahun 1864. Ia wafat pada tanggal 24 September 1878.

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam V (1878-1900)

PA V yang lahir pada tanggal 23 Juni 1833 ini mempunyai beberapa gelar. Pertama-tama, ia bergelar K.P.H. Suryadilaga. Sejak tanggal 20 Maret 1878, ia bergelar Gusti Pangeran Suryadilaga. Sejak tanggal 10 Oktober 1878, ia naik tahta dan bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam V. Ia adalah pelopor modernisasi di lingkungan kerabat Pakualaman. Pertama, ia meningkatkan taraf pendidikan dengan menyekolahkan kerabat Pakualaman ke Sekolah Belanda. Kedua, ia mereformasi sistem ekonomi Pakualaman. Ketiga, ia mengembangkan sistem keamanan Pakualaman dengan membuat sebuah legiun. Pada tanggal 20 Maret 1882, ia mendapat pangkat Kolonel dan memperoleh bintang Ridderkruis van den Nederlandschen Leeuw. Keempat, ia memodifikasi cerita-cerita tradisional untuk pementasan musik drama. Ia wafat pada tanggal 6 November 1900.

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam VI (1901-1902)

Ia lahir pada tanggal 9 April 1856 dan naik tahta pada tanggal 11 April 1901. Sayang, ia tidak lama memerintah karena menderita sakit dan akhirnya mangkat pada tanggal 19 Juni 1902. Selanjutnya, sampai pada tanggal 17 Desember 1906, pemerintahan Kadipaten Pakualaman ditangani oleh Raad Van Beheer over de Pakoe-Alamsche Zeken yang diketuai oleh Redisen R.J. Couperus. Dalam keseharian, pemerintahan itu dijalankan oleh tim yang terdiri dari K.P.H. Sasraningrat, K.P.H. Natadiraja, P.H. van der Moore, dan Asisten Residen Kulon Progo.

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam VII (1906-1937)

Ia lahir pada tanggal 9 Desember 1882 dan naik tahta pada tanggal 17 Desember 1906 dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Suryadilaga. Sejak 1921, ia bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam VII. Pemimpin yang cerdas, rajin, maju, terbuka, dan humanis ini sangat memperhatikan pembangunan modern. Ia memajukan daerah Kulon Progo dengan membangun jembatan, bendungan, pasar-pasar, sekolah-sekolah, irigasi, rumah dinas, pabrik gula (di Sewugalur), dan kebun bibit. Untuk memajukan perekonomian rakyat, ia membangun Bank Kelurahan yang menolong masyarakat bawah dalam hal permodalan. Dalam bidang pendidikan, ia menjadi ketua perkumpulan amal Pengajaran Neutrale Onderwijs Stichting. Ia wafat pada tanggal 16 Februari 1937.