Jumat, 24 Desember 2010

Renungan Natal II

“Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel” — yang berarti: Allah menyertai kita.” (Mat 1:23)

Belakangan ini orang mulai tertarik kembali mempelajari silsilah (genealogy). Silsilah merangkai kehidupan seseorang masa kini dengan masa lampaunya. Rangkaian itu bukan sekadar untuk menemukan sejumlah nama, namun terlebih lagi untuk menemukan legitimasinya. Yang kita cari adalah nama dan kisah yang agung. Nama dan kehebatan nama itu. Kehebatan dan keagungan nama-nama menjadi legitimasi hidup kita masa kini.

Bagaimana dengan silsilah Yesus Kristus sebagaimana dinyatakan dalam Injil Matius?
1. Silsilah Yesus Kristus sebagaimana dinyatakan dalam Injil Matius menyatakan legitimasinya sebagai keturunan Daud dan Abraham. Suatu rangkaian silsilah yang melibatkan tokoh-tokoh utama dalam perjalanan sejarah Israel. Ada Abraham, Ishak dan Yakub sebagai bapak-bapak pendiri Israel. Ada pula Daud dan para raja dalam sejarah Israel.

2. Silsilah ini berangkai dalam “empat belas keturunan dari Abraham sampai Daud, empat belas keturunan dari Daud sampai pembuangan ke Babel, dan empat belas keturunan dari pembuangan ke Babel sampai Kristus.” (1:17). Susunan ini mengingatkan kita akan makna angka dalam Perjanjian Lama, yaitu ada 6 kali tujuh generasi (6×7), kurang dari angka sempurna “tujuh kali tujuh” (7×7) generasi. Yesus datang sebagai “tujuh” (dari 6×7 menjadi 7×7) yang menggenapi perjalanan silsilah ini.

3. Silsilah ini juga menyatakan dengan terbuka adanya perempuan-perempuan bukan Yahudi yang turut serta, yaitu Tamar (Kej 38), Rahab (Yos 1-2) dan Ruth. Ketiga perempuan ini disebut menyatakan ada “ketidak murnian” etnis dalam silsilah ini.

4. Demikianlah dicatat adanya “istri Uria” yang melahirkan Salomo. Suatu “kejatuhan” dalam kehidupan Daud yang menghasilkan pergulatan dalam kerajaannya.

Setiap kita memiliki silsilah. Kita tidak dapat menyangkal bahwa dalam silsilah hidup kita tidak hanya ada kisah sukses dan membanggakan, tetapi ada juga kisah menyedihkan. Ketika untuk pertama kalinya saya bertemu dengan “dokter keluarga” (family physician) di Dundas, Kanada, saya agak terkejut ketika diajukan pertanyaan tentang kesehatan keluarga, dari ayah, ibu, saudara sekandung, bahkan oma dan opa, dan baru paling akhir ditanya soal kesehatan saya sendiri.

Perasaan bangga dan perasaan malu atau sedih bertumpang tindih ketika kita menelusuri silsilah hidup manusia. Lalu bagaimana ke depannya? Bukankah kita sering kali hanya mengulangi pergulatan yang sama meskipun dalam konteks yang berbeda?

Silsilah Yesus Kristus menyatakan keterpaduan-Nya dengan sejarah Israel. Namun pada saat yang sama, kelahiran-Nya tidak mengikuti alur yang sama. Kelahiran Yesus adalah kelahiran dari seorang anak dara (parthenos-virgin). Inilah Injil! Injil Yesus Kristus bukan sekadar berpadu dengan perjalanan sejarah Israel, bukan pula sekadar mengulangi keberhasilan dan kegagalan umat Allah, tetapi terutama adalah menggenapi perjanjian Allah yang dimulai dengan Israel berlanjut kepada semua kaum dan bangsa.

Yesus Kristus tidak datang sekadar untuk “meneruskan” sejarah Israel. Tubuh-Nya adalah tubuh Yahudi, namun hidup-Nya adalah penggenapan bagi keselamatan yang tidak dibatasi oleh “tubuh” Yahudi.

Peristiwa kelahiran Yesus Kristus melalui anak dara menegaskan permulaan yang baru bagi keselamatan manusia berdosa. Dimulai dari Abraham, digenapi oleh Yesus Kristus.

Setiap kita memiliki tubuh yang kita warisi dari nenek moyang kita, dan berangkai dalam silsilah kehidupan. Tubuh kita dan gerak-geriknya mewarisi dan meneruskan kisah sukses dan gagal, kisah yang membanggakan dan memalukan, kisah keagungan dan kenistaan.

Namun Injil Yesus Kristus memberikan jalan yang baru. Di dalam Kristus kita adalah “orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan laki-laki, melainkan dari Allah” (Yoh 1:13).

Mari kita nyatakan hidup kita bukan sekadar bertubuh dan bersilsilah, tetapi terlebih lagi memancarkan hidup baru yang sudah diberikan di dalam anak Allah yang tunggal, Yesus Kristus, Tuhan kita.

Jadi buat apa kita selalu berpikir untuk bersyukur atau menyesal kalau semua bisa kita syukuri dan kita buang penyesalan yang ada, dengan kata lain penyesalan tanpa perubahan tak berarti.