Penetapan status Istimewa ini dilakukan Presiden RI Soekarno sebagai balas jasa atas pengakuan raja-raja Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunagaran yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari Republik Indonesia.
Pada Oktober 1945, muncul gerakan Anti swapraja/anti monarki/anti feodal di Surakarta, di mana salah seorang pimpinannya adalah Tan Malaka, pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tujuan gerakan ini adalah penghapusan DIS, serta pembubaran Mangkunegara dan Susuhunan. Motif lain dari gerakan ini adalah perampasan tanah-tanah pertanian yang dikuasai Mangkunegara dan Susuhunan untuk dibagi-bagikan sesuai dengan kegiatan landreform oleh golongan komunis.
Tanggal 17 Oktober 1945, Pepatih Dalem (perdana menteri) Kasunanan KRMH Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerombolan Anti swapraja. Aksi ini diikuti pencopotan Bupati-bupati yang umumnya kerabat raja dan diganti orang-orang yang pro gerakan Anti swapraja. Maret 1946, Pepatih Dalem yang baru KRMT Yudonagoro juga diculik dan dibunuh. April 1946, 9 pejabat Kepatihan mengalami hal yang sama.
Karena banyaknya kerusuhan, penculikan dan pembunuhan, maka Pemerintah RI membubarkan DIS dan menghilangkan kekuasaan raja-raja Kasunanan dan Mangkunagaran. Status Susuhunan Surakarta dan Adipati Mangkunegara menjadi rakyat biasa di masyarakat dan Keraton diubah menjadi pusat pengembangan seni dan budaya Jawa.
Sebagai suatu agenda programatis, tulisan ini akan menyigi konteks pengembalian status Daerah Istimewa Surakarta (DIS) dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di mana selanjutnya perlu dikomunikasikan ke para pemangku kepentingan, terutama kepada warga masyarakat.
Pada dasarnya, terdapat beberapa aturan yang mengatur dan merekomendasikan tentang adanya pembentukan DIS. Salah satu dari ketentuan yang membicarakan tentang hal tersebut adalah keputusan sidang resmi BPUPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, dan diperkuat dengan Piagam Soekarno sehari kemudian. Keputusan itu juga semakin dipertegas dengan maklumat PB XII tanggal 1 September 1945, serta keputusan pemerintah Nomor 16/SDI/1946 mengenai pemerintahan Daerah Istimewa Surakarta. Di samping itu juga telah diakui internasional lewat Konferensi Meja Bundar.
Seperti diketahui, pada tanggal 16 Juni 1946, Karesidenan Surakarta secara resmi mulai berdiri. Oleh pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta, Karesidenan Surakarta ini membawahi Kotamadya Surakarta, Kabupaten Karanganyar, Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, dan Boyolali. Terbentuknya Karesidenan Surakarta, yang diikuti berdirinya Pemerintahan Daerah Kotamadya Surakarta, secara otomatis menghapus kekuasaan Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegara.
Nasib tragis yang menimpa Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegara ini berbanding terbalik dengan dua saudara mudanya yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, yang hingga kini masih menikmati status sebagai daerah istimewa. Surakarta sebenarnya pernah juga mencicipi status sebagai daerah istimewa. Seperti juga Sultan Hamengkubuwana IX, Pakubuwana XII juga menandatangani pernyataan yang menyebutkan bahwa Keraton Surakarta berdiri di belakang RI. Seperti juga Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta pun lantas diberi status sebagai Daerah Istimewa Surakarta (DIS) dengan Pakubuwana XII sebagai kepala daerah.
Bedanya, jika daerah Kasultanan Yogyakarta dan Kadipatan Pakualaman hingga kini masih menikmati status sebagai Daerah Istimewa, Surakarta hanya menikmati status sebagai daerah istimewa hingga ditetapkannya Karesidenan Surakarta dan Pemerintah Daerah Kotamadya Surakarta.
Dalam buku Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta (1999) yang ditulis Nurhajarini, menguraikan bahwa proses delegitimasi Keraton Surakarta sudah dimulai sejak lama hingga pada bulan Oktober 1945 terbentuk gerakan swapraja yang menggelar kampanye antimonarki dan feodalisme di Surakarta. Gerakan yang menyebut-nyebut nama Tan Malaka sebagai salah satu pemimpinnya itu, tak hanya memasang target untuk membubarkan DIS, tapi juga menginginkan dicabutnya beragam privilege yang dimiliki Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegara. Kelompok ini berharap bisa mengambil alih tanah-tanah yang dikuasai dua monarki itu dan membagikannya pada para petani.
Dari kelompok inilah yang ada di balik serangkaian kerusuhan, kekacauan dan kekerasan di Surakarta, di mana bupati-bupati di Daerah Istimewa Surakarta yang masih kerabat keraton diturunkan oleh massa. Bayangan revolusi sosial di Sumatra Timur yang merenggut banyak sekali bangsawan Melayu, membayang di Surakarta. Pemerintah RI akhirnya turun tangan dan mengirimkan pasukan untuk menjaga Keraton Surakarta. Kemudian, pemerintah RI menindaklanjuti situasi yang tak terkendali dengan mengeluarkan beleid pembentukan Karesidenan Surakarta dan Kotamadya Surakarta. Daerah Istimewa Surakarta pun berakhir dengan tragis. Berbagai rangkaian kerusuhan dan kekerasan sosial pelan tapi pasti, membuat proses delegitimasi Keraton Surakarta berjalan lebih cepat. Hal lain yang membuat cepatnya delegitimasi itu adalah keberadaan Surakarta sebagai salah satu daerah yang paling riuh dan bergolak sepanjang periode pergerakan nasional.
Kepentingan Siapa?
Perlu diketahui, bahwa konsep DIS sangat berbeda dengan konsep pemekaran daerah sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Status DIS ini berbeda dengan beberapa daerah keistimewaan yang lain seperti DIY dan DI Aceh. Kalau di DIY, raja atau pemimpin kerajaan juga merupakan kepala daerah. Berbeda dengan konsep DIS, karena kepala daerah tetap dipilih dari masyarakat, jadi ada dua kepemimpinan yang akan mengatur jalannya pemerintahan DIS.
Namun kalau Kota Surakarta menjadi daerah istimewa, maka seluruh anggaran ditanggung oleh daerah sendiri atau dengan kata lain harus mandiri secara penuh. Dalam kenyataannya, memang tidak mudah merealisasikan pembentukan DIS karena banyak anggota masyarakat yang mempertanyakan dan bersikap skeptis. Salah satu sikap skeptis yang diutarakan adalah tidak tersedianya sumber daya alam yang dimiliki oleh wilayah di eks Karesidenan Surakarta.
Rasa-rasanya pendapat semacam itu sangat naif, khususnya apabila kita berbicara dalam era globalisasi. Singapura tidak pernah memiliki sumber daya alam tetapi perekonomiannya sangat kuat. Bukankah hanya masyarakat primitif saja yang mengandalkan hidupnya dari alam?
Dalam dunia yang serba cepat dan modern seperti sekarang ini, keberhasilan sebuah masyarakat atau bangsa sangat ditentukan pada kualitas sumber daya manusia (SDM), bukan pada sumber daya alam. Munculnya feodalisme juga menjadi kekhawatiran tersendiri atas wacana pembentukan DIS. Pendapat seperti ini pun rasanya naif karena pada dasarnya masyarakat di wilayah eks Karesidenan Surakarta bukanlah masyarakat yang bodoh dan tidak memahami persoalan yang sedang terjadi. Masyarakat akan tahu apakah pembentukan DIS ini demi kepentingan rakyat atau elite politik.
Persoalan yang terbesar menurut penulis, adalah kekhawatiran apabila agenda pembentukan Provinsi Surakarta jatuh ke tangan petualang-petualang politik, akademisi oportunis, dan tokoh masyarakat abal-abal, dan hal inilah yang harus dihindari dan selalu diawasi oleh seluruh elemen yang ada dalam masyarakat. Agenda ini harus benar-benar berada di tangan masyarakat yang mewakilkan pada kelompok yang memahami kondisi riil wilayah ini, memiliki visi dan misi, kredibel dan di atas segalanya adalah demi kesejahteraan rakyat. Apabila itu tidak terjadi, maka pembentukan DIS akan melahirkan persoalan baru yakni pertarungan kekuasaan. Bukankah Surakarta mewarisi tradisi Kesultanan Mataram yang sarat dengan persoalan perebutan kekuasaan? Selama ini pun bangsa Indonesia selalu menjadi bangsa yang terlambat dan puas dengan apa yang didapat, tanpa pernah melakukan persiapan yang matang untuk menghadapi masa depan. Hanya masyarakat Surakarta dan sekitarnya yang bisa menjawab agenda pembentukan DIS ini, apakah akan dilanjutkan atau hanya menjadi retorika belaka.