Sebagian kalangan di Yogyakarta merasa penjelasan itu tidak menjawab persoalan inti, yaitu munculnya kesan bahwa pemerintah pusat berkeras agar jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY di tentukan melalui pemilihan, bukan ditetapkan.
Kecaman kini disuarakan sejumlah elemen masyarakat yang menginginkan keistimewaan Yogyakarta juga melekat pada sistem penetapan otomatis Sri Sultan Hamengkubowono dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
Hal ini antara lain disuarakan oleh Gerakan Rakyat Yogyakarta. “Bagi kami tidak ada kata lain bahwa keistimewaan DIY itu Sultanku Gubernurku dan Paku Alam Wakil Gubernurku,” Penjelasan SBY, yang menyatakan Sultan adalah sosok yang paling tepat untuk menjabat Gubernur DIY lima tahun ke depan, sangat bertentangan dengan RUU Keistimewaan DIY dari pemerintah pusat yang akan diajukan ke DPR. RUU itu menurut dia masih menginginkan agar suksesi kepemimpinan DIY dilakukan melalui mekanisme pemilihan.
Pemerintah pusat plin pan dengan apa yang diucapkannya sendiri. SBY menyatakan pemimpin yang tepat untuk memimpin DIY adalah Sultan, namun di belakangnya ia menyatakan jika Sultan dan Paku Alam menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY maka harus mendaftar menjadi cagub dan cawagub DIY ketika ada pemilu kepala daerah
Sulistyo, ketua Paguyuban Dukuh (Pandu) Kabupaten Bantul. Dengan garang menyatakan, ”Itu harga mati bagi kami."
Gerakan Rakyat Yogyakarta dalam waktu dekat akan mengajak dan menggerakkan elemen masyarakat lain di luar Yogyakarta yang sepandangan dengan mereka. Tak hanya dari elemen masyarkat di Yogyakarta, Tetapi juga menggalang dukungan dari elemen masyarakat lain luar DIY.
Ketua Litbang DPD Parade Nusantara untuk Daerah Istimewa Yogyakarta, Fatoni Rustam, menegaskan bahwa RUUK DIY versi pemerintah bertentangan dengan apa yang diinginkan masyarakat Yogyakarta. Organisasi ini menginginkan jabatan gubernur dan wakilnya melekat pada Sultan dan Paku Alam melalui mekanisme penetapan.
Pemerintah optimistis Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta akan disetujui DPR dan bisa diberlakukan tahun depan.
Meskipun, hingga saat ini baik Dewan Perwakilan Daerah maupun DPRD Yogyakarta masih menginginkan agar Sri Sultan Hamengku Buwono dan Pakualam otomatis diangkat menjadi gubernur dan wakil gubernur, berbeda dengan pemerintah yang menginginkan keduanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan demokratis.
“Harus berhasil memutuskan. Kalau akhir Desember ini diajukan, Januari dibahas maka 2011 sudah harus selesai,” kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan dalam diskusi Trijaya di Warung Daun, Jalan Cikini Raya, Jakarta, Sabtu (4/12/2010).
Diskusi tersebut juga menghadirkan Ketua Parade Nusantara Jiono, Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin dan Mantan Anggota Komisi II Syaifullah Masum sebagai pembicara.
Dalam diskusi, Djohermansyah mengungkapkan, sebenarnya RUU Keistimewaan Yogyakarta sudah hampir selesai pada masa kerja DPR periode 2004-2009. Sebanyak enam dari tujuh poin keistimewaan sudah disepakati kecuali mekanisme pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur, di mana pemerintah dan Fraksi Partai Demokrat bersikukuh agar melalui pemilihan langsung. Sementara delapan fraksi lainnya setuju dengan mekanisme pengangkatan.
“Akhirnya deadlock, dan ini yang coba kita pecahkan dengan mengajukan kembali pada DPR yang sekarang,” katanya.
Djohermansyah mengatakan, selain karena perubahan peta kekuatan politik di DPR, pihaknya optimistis RUU tersebut gol, karena secara substansi pemerintah juga mau mengalah seandainya gubernur dan wakil gubernur tak harus dipilih langsung tetapi diusulkan DPRD kepada Presiden.
“Yang seperti sekarang kan juga begitu, karena enggak mungkin Sultan mengajukan dirinya sendiri tetapi dipilih DPRD dan diajukan kepada Presiden,” ujarnya.
Sementara itu, Syaifullah Masum percaya, DPR yang sekarang masih memiliki nurani dan empati terhadap aspirasi rakyat Yogyakarta. Menurutnya, tidak mungkin DPR menyetujui pemilihan jika DPRD Yogyakarta dan DPD setuju pengangkatan.
Salah satu klausul draf RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengatur hak Sultan Hamengku Buwono mencalonkan diri sebagai gubernur secara otomatis tanpa perlu sokongan partai politik.
Namun, klausul tersebut dianggap bermasalah karena posisi Sultan nantinya berada di atas gubernur. “Kan yang repot jika dalam pemilihan tersebut Sultan menang dan berarti dalam posisi tersebut Sultan memiliki dua jabatan sekaligus,” kata Wakil Sekretaris Jenderal LSM Mesti Nusantara, Bondan Nusantara saat dihubungi okezone, Jumat (3/12/2010) malam.
Bondan menjelaskan,semestinya pemerintah membuat keputusan gegabah dalam penyelesaian RUU Keistimewaan tersebut. Pemerintah diminta melakukan sosialisasi RUU DIY agar masyarakat Yogyakarta memahami tiap pasal dan penjelasannya.
Dia melanjutkan posisi para raja Yogyakarta yakni Sri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam memiliki hak veto dan kewenangan tersendiri terhadap rakyatnya. RUU DIY versi pemerintah pusat dikhawatirkan bertabrakan dengan garis keistimewaan yang telah ada.
“Pemerintah harusnya bisa meyakinkan dan menjamin kalau pemilihan itu lebih baik dan tenang. Disini pemerintah tidak mencari musyawarah untuk mufakat,” pungkasnya.
Selain itu menurut Bondan, penyebutan monarki yang disematkan oleh pemerintah pusat kepada Yogyakarta menyakitkan perasaan masyarakat Yogyakarta. Alasannya, sistem tata kelola pemerintah yang berjalan di Yogya saat ini tidak sedikitpun bersinggungan dengan istilah monarki.
“Yogya itu tidak berbau monarki. Budaya, ekonomi semuanya berjalan secara demokratis. Jadi sebutan monarki itu yang menyinggung perasaan warga Yogya,” ungkapnya.
Bondan menambahkan, jika pemerintah ngotot menginginkan RUU Keistimewaan versi pusat disahkan, UU tersebut jangan dikaitkan dengan Sultan Hamengku Buwono tetapi mengakomodir kehendak masyarakat Yogyakarta.
“Dengan argumentasi apapun Undang-Undang yang dibuat itu jangan dikaitkan dengan Sultan, tapi pada rakyat Yogya karena Undang-Undang itu dibuat untuk rakyat bukan untuk pemerintah,” tandasnya.